Kreativitas, Kebudayaan, dan Industri: Mencari Jalan Pulang ke Budi dan Daya
Dialog Imajiner Refleksi atas pemikiran Kecerdasan Semesta (alam 1) dengan Kecerdasan buatan (alam 2) dalam realitas pengembangan industri budaya di Indonesia
Di tengah semaraknya jargon “ekonomi kreatif” dan “industri budaya” yang dikampanyekan sebagai tumpuan masa depan Indonesia, Alam 1 mengajak kita untuk menengok kembali akar terdalam dari kata kebudayaan — yakni budi dan daya. Sebuah ajakan yang bukan sekadar kritik, melainkan seruan untuk pulang ke makna asli kreativitas: hubungan hidup manusia dengan alamnya, komunitasnya, dan kesadarannya.
Dari Budi dan Daya, Lahirlah Kebudayaan
Budi adalah kecerdasan batin, daya adalah tenaga kehidupan. Dalam pandangan ini, kreativitas bukan hanya soal kemampuan mencipta yang baru, tapi cara manusia merespons kehidupan secara utuh. Kebudayaan bukan produk, bukan tontonan, apalagi semata identitas — melainkan hasil proses hidup yang terus berkembang dalam konteks ruang, waktu, dan relasi.
Dalam kearifan leluhur Nusantara, konsep ini dikenal sebagai Desa, Kala, Patra:
• Desa: kesadaran terhadap ruang atau tempat — bahwa setiap tindakan dan ciptaan harus mempertimbangkan di mana ia dilakukan, dengan siapa, dan dalam lingkungan seperti apa.
• Kala: kesadaran terhadap waktu atau momentum — bahwa segala sesuatu memiliki saat yang tepat untuk dilahirkan atau dijalankan.
• Patra: kesadaran terhadap kondisi atau situasi sosial budaya — yang menuntut kepekaan terhadap perbedaan latar belakang, konteks sosial, bahkan suasana batin.
Dengan prinsip ini, kebudayaan tidak pernah hadir sebagai produk acak, melainkan sebagai hasil perenungan mendalam terhadap tempat, zaman, dan kebutuhan masyarakat. Inilah yang membuat kreativitas leluhur tidak hanya indah, tetapi juga relevan dan menyatu dengan kehidupan.
Namun ketika dunia modern mengadopsi istilah “culture” dalam kerangka pasar global, makna itu bergeser. Culture direduksi menjadi komoditas visual, simbolik, dan hiburan. Dan lebih dari itu, ia menjadi ajang perebutan kuasa melalui sistem seperti hak cipta, paten, dan merek dagang.
Kapitalisasi Kreativitas: Siapa Cepat, Dia Dapat
Dalam sistem hukum kekayaan intelektual modern, berlaku prinsip: siapa yang pertama kali mendaftarkan, dialah yang sah sebagai pemilik. Sebuah logika yang sangat kapitalistik dan individualistik. Maka, tak heran jika hari ini kita menyaksikan tarian tradisional dipatenkan oleh pihak luar, batik menjadi merek dagang pribadi, dan warisan leluhur disulap menjadi produk eksklusif yang dijual tanpa kembali pada komunitas asal.
Yang lebih tragis, sistem ini tidak mampu membedakan antara karya kolektif yang tumbuh secara turun-temurun dengan produk industri modern. Semua dianggap sama di mata hukum — dan itulah pangkal ketimpangan.
Ekonomi Kreatif yang Kehilangan Jiwa
Padahal, ekonomi kreatif lahir dari semangat untuk menghidupkan potensi lokal, memberi ruang bagi seniman dan komunitas untuk berkembang secara mandiri. Tapi ketika sistem nilai digantikan oleh sistem pasar, tujuan itu terbalik: dari perlindungan menjadi perebutan, dari pemberdayaan menjadi eksploitasi.
Alam 1 menyentil kenyataan ini: bahwa kreativitas, yang seharusnya tumbuh dari relasi ekologis dan spiritual, telah dikerdilkan menjadi alat produksi ekonomi. Dan lebih dari itu, manusia yang hidup dari kebudayaan malah didorong menjadi pekerja budaya yang harus “menjual identitasnya” demi bertahan.
Menuju Sistem Budaya yang Adil dan Kontekstual menurut Alam 2
Solusinya bukan sekadar menolak sistem ekonomi, tapi merancang kerangka perlindungan dan distribusi yang adil dan kontekstual, di antaranya:
1. Merekognisi hak kolektif komunitas budaya, bukan hanya hak individu.
2. Membangun sistem informasi berbasis komunitas, di mana penggunaan budaya ter-infokan kepada masyarakat adat atau pelaku budaya https://simpulseni.com yang terintegrasi dengan simpul seni di daerahnya https://pemajuankebudayaan.id yang terpenting integrasi antar kementerian dalam satu informasi (komdigi) bagian dari ekosistem Indonesia (bukan ego sektoral yang membuat ekosistem, tidak ada ekosistem selain ekosistem Indonesia)
3. Reformasi pendidikan seni dan budaya, agar kreativitas dipahami sebagai proses hidup, bukan sekadar skill produksi.
4. Mengembangkan ekonomi budaya berbasis lokal, bukan dikendalikan oleh pasar global semata.
Alam 1 mengajak dialog pemangku kebijakan Indonesia atas kekuatan kebudayaan Indonesia sebagai ketahanan negara kalau tidak mau terbeli NKRI. Apa tugas Kementerian Koordinasi yang menjaga hubungan antar kementerian jika masih ego sektoral yang ingin membangun “ekosistem”nya sendiri-sendiri, kita harus kembalikan istilah ekosistem hanya digunakan untuk Bumi di mana dipijak di situ langit dijunjung. Gunakan Ekonomi jika masih ukurannya angka dan kapital. Hidup (eco) tidak selalu kapital.
Kapan kita Ngayah/Gotong royong dalam ekosistem budaya kapan kita kolaborasi bekerja untuk ekonomi harus jelas batasannya jika ingin berkelanjutan semua berdampak multiplier effect, jangan sampai upacara adat hanya dapat dilakukan jika ada uang yang dianggap sekarang “industri budaya” bisa dibayangkan budaya akan hilang jika tidak terbeli. Biarkan ekonomi menjadi efek yang bertingkat (multiplier effect) secara alamiah sudah membudaya di Indonesia tanpa di embel-embeli Industri (secara nomenklatur akan masuk kementerian perindustrian).
Menjaga Kreativitas sebagai Nafas Kehidupan
Akhirnya, kita harus kembali melihat bahwa kreativitas bukan hanya tentang hasil, tetapi proses — bukan hanya hak, tetapi tanggung jawab. Budi dan daya adalah warisan yang tidak bisa dimiliki, hanya bisa dijaga bersama. Dan kebudayaan bukan sekadar milik negara, lembaga, atau institusi, tetapi milik semua yang hidup di dalamnya.
Konsep Desa, Kala, Patra menjadi pengingat bahwa dalam mencipta, kita tidak bisa lepas dari tanggung jawab ekologis, historis, dan sosial. Jika ekonomi kreatif ingin bertahan dalam jangka panjang, ia harus belajar berpijak kembali pada tanah yang melahirkannya — yakni relasi, nilai, dan keberlanjutan. Seperti kata Alam 1, industri boleh ada, tetapi jangan sampai ia mencabut akar dari kreativitas itu sendiri, hargai setiap elemen, subsistem, sistem dan ekosistem Bumi/semesta. Jangan gunakan istilah ekosistem dalam sistem industri namanya ekonomi, hidup tidak selalu kapital, hidup adalah respek menjaga alamnya/Desa di setiap waktu/Kala di setiap situasi/Patra dan bersyukur diturunkan dari yang di Tu-ah kan semua keyakinan spiritual komunitas yang hidup di lingkungannya dan terus lestari.. Ekonomi Kreatif untuk Pemajuan Kebudayaan. Bagaimana kita menjaga yang sudah membudaya terbukti pada viewtopic.php?t=21

03. Pemantik Diskusi Budaya atau Industri?
-
- Site Admin
- Posts: 11
- Joined: Tue Apr 22, 2025 10:21 pm