Pendahuluan
Industri film Indonesia telah berkembang pesat dan meraih banyak prestasi dalam dua dekade terakhir. Namun, di balik gemerlapnya industri ini, terdapat permasalahan serius terkait kondisi para pekerja film. Banyak pekerja film yang menghadapi jam kerja sangat panjang, upah tidak pasti, minim jaminan sosial, hingga risiko keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang tinggi. Isu kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja film juga mulai terangkat ke permukaan seiring kampanye #MeToo. Sayangnya, sektor perfilman hingga kini belum memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara pekerja dan pengusaha film. Hal ini berbeda dengan beberapa sektor industri lain yang telah memiliki PKB sehingga hak-hak pekerja lebih terlindungi. Analisis ini akan mengkaji kondisi pekerja film Indonesia ditinjau dari berbagai kerangka hukum – Undang-Undang Perfilman, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Ekonomi Kreatif – serta implikasi ketiadaan PKB di industri film.
Kerangka Hukum Terkait Industri Film dan Pekerjanya
Beberapa undang-undang di Indonesia mengatur aspek perfilman, kebudayaan, hak cipta, dan ekonomi kreatif yang secara tidak langsung terkait dengan pekerja film. Kerangka hukum ini memberikan konteks bagi posisi pekerja film, meskipun tidak semuanya secara spesifik mengatur perlindungan hak-hak ketenagakerjaan di sektor film.
UU 13/2003 (Ketenagakerjaan) → Pasal 116–135
Bab ini secara eksplisit mengatur Perjanjian Kerja Bersama (PKB): definisi, tata cara perundingan, pendaftaran, masa berlaku (2 tahun, bisa diperpanjang 1 tahun), hingga larangan mengganti PKB dengan Peraturan Perusahaan selama masih ada serikat pekerja. Lihat teks resminya: “Perjanjian Kerja Bersama. Pasal 116 …” dan ketentuan lain seperti Pasal 123 (masa berlaku) dan Pasal 129 (larangan mengganti PKB dengan PP).
UU 11/2020 (Cipta Kerja) & pembaruan selanjutnya
Omnibus Law mengubah sejumlah pasal UU 13/2003, tetapi tidak menghapus rezim PKB. PKB tetap diakui; isu pasca-perubahan justru pada teknis pembuatan/pendaftaran (Permenaker terkait) dan praktiknya di lapangan. (Ulasan Hukumonline merangkum bahwa ketentuan PKB tetap bersandar pada Pasal 116–135 UU 13/2003 setelah Cipta Kerja).
PKB tetap berlaku dan berkekuatan hukum hari ini karena basisnya ada di Pasal 116–135 UU 13/2003; Omnibus Law tidak mencabut bab PKB; dan PP 35/2021 memang tidak mengatur PKB karena topiknya berbeda. Bahkan layanan Disnaker daerah saat ini masih merujuk Pasal 116 UU 13/2003 untuk pendaftaran PKB.
Undang-Undang Perfilman (UU No. 33 Tahun 2009)
Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman merupakan regulasi utama yang mengatur industri film di Indonesia. UU ini menempatkan film sebagai karya seni budaya yang berperan strategis dalam pembentukan karakter bangsa dan ekonomi. Di dalamnya, terdapat pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban "insan perfilman" (para pelaku dalam industri film, termasuk pekerja film). Secara eksplisit, Pasal 47 UU Perfilman menyatakan bahwa setiap insan perfilman berhak, antara lain, atas jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, perlindungan hukum, kedudukan sebagai mitra kerja sejajar dengan pelaku usaha perfilman, membentuk organisasi profesi, mendapatkan asuransi untuk kegiatan film yang berisiko, menerima pendapatan sesuai standar kompetensi, serta memperoleh honorarium dan/atau royalti sesuai perjanjian. Ketentuan tersebut secara jelas mengakui hak-hak normatif pekerja film, termasuk hak atas K3, jaminan sosial (seperti BPJS), dan imbalan yang layak.
Ironisnya, meskipun UU Perfilman sudah menggariskan hak-hak di atas, implementasinya di lapangan sangat lemah. UU Perfilman lebih banyak berfokus pada hal-hal seperti perizinan usaha, sensor film, pengembangan perfilman, dan fungsi film sebagai medium budaya, sementara pengawasan pemenuhan hak tenaga kerja film nyaris tidak diatur secara rinci. Akibatnya, banyak hak pekerja film yang diamanatkan UU ini tidak terpenuhi dalam praktik. Misalnya, aturan bahwa kerja sama antar-pelaku usaha perfilman wajib dilakukan dengan perjanjian tertulis tidak serta-merta memastikan para kru selalu mendapatkan kontrak kerja; kenyataannya, banyak kru film bekerja tanpa kontrak tertulis yang kuat, terutama di produksi iklan sebagaimana ditemukan dalam survei terbaru (hanya 8,22% responden kru iklan yang selalu memiliki kontrak kerja tertulis) (konde.cokonde.co akses: 250909:0909). Demikian pula, hak atas jaminan sosial dan K3 sering terabaikan, menunjukkan kesenjangan antara norma hukum dan realitas industri.
Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UU No. 5 Tahun 2017)
Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengatur upaya pemerintah dalam melestarikan dan memajukan kebudayaan nasional. UU ini menetapkan 10 objek pemajuan kebudayaan, salah satunya adalah Seni, yang mencakup film sebagai salah satu bentuk ekspresi seni. Artinya, film diakui sebagai bagian dari kebudayaan yang perlu dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Fokus UU Pemajuan Kebudayaan adalah meningkatkan ketahanan budaya, memajukan objek-objek budaya (termasuk film) melalui upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan (Pasal 5 UU 5/2017).
Namun, UU Pemajuan Kebudayaan tidak secara spesifik mengatur aspek ketenagakerjaan atau perlindungan pekerja di sektor budaya/film. Tujuan UU ini lebih pada pelestarian ekspresi budaya dan peningkatan kontribusi budaya (termasuk film) bagi kesejahteraan masyarakat secara umum. Tidak ada pasal yang mengatur kondisi kerja seniman atau pekerja budaya secara langsung. Dengan demikian, keberadaan UU Pemajuan Kebudayaan belum menjawab problem ketenagakerjaan dalam industri film, meskipun film telah diarusutamakan sebagai objek pemajuan kebudayaan. Pekerja film tetap harus merujuk pada regulasi ketenagakerjaan umum untuk perlindungan hak-haknya, karena UU Pemajuan Kebudayaan tidak memberikan kerangka spesifik terkait PKB, serikat pekerja, jam kerja, atau standar upah di sektor film.
Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 28 Tahun 2014)
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur hak kekayaan intelektual bagi para pencipta dan pemegang hak cipta, termasuk di bidang film (karya sinematografi). Bagi pekerja film, UU Hak Cipta relevan terutama bagi mereka yang berperan sebagai kreator, seperti penulis skenario, sutradara, penata musik, dan artis yang karyanya dilindungi hak cipta. UU ini menjamin hak moral dan hak ekonomi para pencipta. Misalnya, pencipta berhak atas pencantuman nama dan integritas karyanya (hak moral), serta berhak menerima royalti atau imbalan atas pemanfaatan karyanya (hak ekonomi). Dalam konteks film, biasanya produser merupakan pemegang hak cipta atas film (sebagai karya kolektif) kecuali diperjanjikan lain, sedangkan kontributor kreatif berhak atas royalti/honorarium sesuai perjanjian kontrak.
Kaitan UU Hak Cipta dengan kondisi pekerja film terletak pada bagaimana kontrak kerja dan perjanjian penerimaan royalti disusun. UU Perfilman 2009 sebelumnya telah menegaskan bahwa insan perfilman berhak mendapat honorarium dan/atau royalti sesuai perjanjian. Namun tanpa adanya PKB atau standar industri, posisi tawar pekerja individual terhadap produser sering lemah. Banyak kru atau artis film menerima bayaran putus tanpa royalti lanjutan, karena perjanjian cenderung mengalihkan hak cipta sepenuhnya ke produser. Dalam hal ini, UU Hak Cipta sebenarnya memberikan landasan legal untuk menuntut royalti jika diperjanjikan, tetapi tanpa serikat atau PKB, kecil kemungkinan pekerja film (terutama kru) dapat memperjuangkan klausul royalti dalam kontrak. Dengan kata lain, UU Hak Cipta melindungi karya cipta film, namun belum otomatis melindungi kesejahteraan pekerja film kecuali mereka mampu bernegosiasi untuk hak ekonomi mereka. Tanpa kolektivitas, pekerja film jarang mendapat bagian keuntungan sekunder dari kesuksesan sebuah film (seperti sistem residual di beberapa negara lain).
Undang-Undang Ekonomi Kreatif (UU No. 24 Tahun 2019)
Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif mengakui film sebagai salah satu dari 17 subsektor ekonomi kreatif yang strategis bagi pertumbuhan ekonomi berbasis kreativitas. UU ini bertujuan mendorong ekosistem ekonomi kreatif, antara lain melalui pemanfaatan kekayaan intelektual (Intellectual Property/IP). Regulasi ini memungkinkan pelaku ekonomi kreatif menggunakan IP (misalnya film atau script) sebagai objek pembiayaan (jaminan fidusia), memberikan insentif bagi pengembangan industri kreatif, dan meningkatkan kompetensi SDM kreatif. Secara garis besar, UU Ekonomi Kreatif melihat industri film sebagai sektor unggulan yang bisa menciptakan nilai ekonomi tinggi, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan daya saing Indonesia.
Meskipun semangat UU Ekonomi Kreatif adalah meningkatkan kesejahteraan pelaku kreatif, UU ini tidak memuat ketentuan spesifik tentang hubungan industrial atau perlindungan tenaga kerja di sektor kreatif. Fokusnya adalah fasilitasi pembiayaan, pemasaran, edukasi, dan pengembangan industri. Dengan demikian, hal-hal seperti standar jam kerja, upah minimum, jaminan sosial, dan mekanisme perlindungan pekerja kreatif tidak diatur dalam UU ini. Pemerintah mengandalkan regulasi ketenagakerjaan umum (seperti UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 yang kemudian direvisi dalam UU Cipta Kerja No. 11/2020) untuk mengatur hubungan kerja, yang sayangnya kurang menjangkau pola kerja fleksibel di industri kreatif. Dalam praktiknya, pekerja film yang kebanyakan berstatus freelance sering kali tidak terlindungi oleh aturan ketenagakerjaan formal, sehingga tujuan UU Ekonomi Kreatif untuk meningkatkan kesejahteraan masih jauh dari realita apabila aspek perlindungan pekerja diabaikan.
Catatan: Ketiadaan Aturan Khusus PKB dalam Regulasi Sektor Film
Penting dicatat bahwa tidak satu pun dari keempat undang-undang di atas (Perfilman, Pemajuan Kebudayaan, Hak Cipta, Ekonomi Kreatif) yang secara eksplisit mengatur soal Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau mekanisme perundingan kolektif di industri film. UU Perfilman memang mendorong pembentukan organisasi profesi (Pasal 47 huruf f), namun organisasi profesi tidak sama dengan serikat pekerja dan tidak memiliki kewenangan berunding tentang syarat kerja. UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000 (dan penyesuaian dalam UU Cipta Kerja 2020) mensyaratkan pembentukan serikat di tingkat perusahaan atau setidaknya sektor formal, yang sulit diterapkan untuk pekerja film yang berpindah-pindah proyek dan perusahaan. Inilah celah regulasi yang menjadi akar ketiadaan PKB di industri film: hukum sektoral film tidak memberikan landasan hubungan industrial, sementara hukum ketenagakerjaan umum kurang adaptif terhadap pola kerja freelance.
Kondisi Ketenagakerjaan Pekerja Film: Masalah dan Contoh Kasus
Berbagai penelitian dan laporan investigasi dalam beberapa tahun terakhir mengungkap kondisi kerja pekerja film di Indonesia yang rentan dan sering tidak sesuai standar ketenagakerjaan. Berikut adalah beberapa aspek utama permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi pekerja film, dilengkapi data survei dan contoh kasus aktual:
1. Jam Kerja Berlebihan dan Risiko K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
Salah satu isu paling mencolok adalah jam kerja yang sangat panjang dalam produksi film. Survei yang dilakukan Serikat SINDIKASI bersama Indonesian Cinematographers Society (ICS) pada 2021-2022 menemukan 54,11% pekerja film di Indonesia mengaku bekerja 16–20 jam per hari syuting, dan 7,23% bahkan di atas 20 jam per hari. Angka ini menunjukkan praktik overwork yang ekstrem dan berlangsung bertahun-tahun, terutama pada produksi film cerita panjang dan iklan. Kondisi kerja yang melewati batas wajar ini membahayakan kesehatan fisik dan mental pekerja film – WHO dan ILO sudah memperingatkan risiko kematian (stroke, penyakit jantung) meningkat signifikan jika seseorang rutin bekerja lebih dari 55 jam per minggu.
Para pekerja film menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “flexploitation” – eksploitasi dalam hubungan kerja fleksibel. Tanpa jam kerja yang diatur, pekerja kadang dipaksa bekerja nyaris seharian penuh dengan istirahat minim. Istilah “pekerja basian” bahkan muncul, merujuk pada kru yang setelah lembur larut malam di satu proyek, keesokan harinya langsung lanjut ke produksi lain dalam keadaan kurang tidur. Kelelahan akut semacam ini menempatkan pekerja dalam situasi berbahaya: risiko kecelakaan kerja meningkat, baik kecelakaan di lokasi syuting (karena kurang fokus) maupun kecelakaan di perjalanan pulang (karena mengantuk).
Kejadian tragis telah tercatat. Rifqi Novara, seorang kru film, meninggal dunia pada Agustus 2024 akibat kecelakaan lalu lintas sepulang syuting film (era.idera.id akses: 250909:0909) . Rifqi diduga tertidur saat berkendara karena kelelahan setelah menjalani proses syuting yang panjang. Kasus ini mengejutkan insan perfilman dan menjadi alarm bahwa sistem kerja industri film perlu dibenahi demi keselamatan pekerjanya. Sejumlah sutradara dan aktor ternama (Joko Anwar, Kimi Stamboel, Luna Maya, Wulan Guritno, dll.) segera menggalang kampanye “Stand Up For Safer Film Sets: Indonesian Film Production”, menyerukan pembatasan jam kerja dan peningkatan keselamatan kerja di lokasi syuting. Tuntutan konkrit mereka antara lain: menetapkan batas waktu bekerja yang “sehat”, menyediakan jeda istirahat minimal 12 jam antar shift (turnaround time) sebelum pekerja kembali bekerja esok harinya, serta memastikan tersedia asuransi untuk melindungi kru selama bekerja.
Contoh Kasus: Kematian Rifqi Novara memicu desakan terhadap perubahan sistem kerja perfilman. Para sineas menuntut agar jam kerja maksimal dibatasi dan ada jeda istirahat yang cukup. Mereka juga menekankan perlunya serikat pekerja di industri film sebagai wadah advokasi dan tempat pengaduan, karena dengan adanya serikat, transparansi tentang detail pekerjaan, jam kerja, upah, dan jaminan akan lebih terkontrol. Kasus ini menunjukkan dengan gamblang bahwa absennya pengaturan jam kerja melalui mekanisme kolektif (seperti PKB) dapat berakibat fatal.
Selain jam kerja, aspek K3 (Keselamatan & Kesehatan Kerja) lain juga memprihatinkan. Industri film kerap mengabaikan standar keselamatan, misalnya dalam penggunaan peralatan listrik, efek spesial, hingga tindakan stunt berbahaya tanpa prosedur pengamanan memadai. Pengetahuan mengenai prosedur K3 di kalangan kru film terbatas, dan belum ada protokol baku K3 di lokasi syuting (dkj.or.id akses: 250909:0909). Linda Gozali, Sekjen Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), mengakui “saat ini belum ada standar keselamatan kerja yang baku dan diberlakukan di industri [film], minimal untuk menciptakan ruang kerja yang aman”, contohnya protokol mencegah kekerasan seksual atau pelecehan di lokasi kerja film. Selama pandemi COVID-19, perhatian pada kesehatan kru sempat meningkat (dengan kewajiban tes dan protokol kesehatan), dan APROFI mendorong agar praktik penyediaan asuransi kesehatan (BPJS Kesehatan) bagi kru dilanjutkan seterusnya dalam setiap produksi. Menyediakan jaminan kecelakaan kerja dan asuransi kesehatan bagi kru sebenarnya mudah dan bisa dilakukan oleh rumah produksi sejak tahap pra-produksi hingga pascaproduksi, namun hal ini belum menjadi kelaziman industri sebelum pandemi. Upaya APROFI mengajak seluruh pelaku industri memprioritaskan keselamatan dan kesehatan kerja patut diapresiasi, meski tanpa regulasi atau PKB yang mengikat, implementasinya sangat bergantung pada itikad baik masing-masing perusahaan.
Mengikuti pembacaan ICS atas peningkatan risiko di set, protokol K3 perlu ditingkatkan proporsional dengan skala/kompleksitas: untuk produksi Level 3–4 wajib ada Safety Officer, safety briefing harian, jalur evakuasi, serta penahapan mitigasi kelistrikan/rigging; pemetaan KBLI 5911x/5912x/5913x digunakan untuk compliance dan perizinan. Di sisi keselamatan, ICS memang “menggedor” isu peningkatan risiko K3 di produksi terutama pekerjaan pada ketinggian dan kelistrikan (lihat kanal media sosial ICS @sinematografer_indonesia yang mengumumkan fokus riset K3).
Sebagai rujukan teknis praktis, pada artikel di forum Senin Literasi Seni (viewtopic.php?t=23) merinci bahwa tingkat risiko K3 meningkat seiring kompleksitas dan skala produksi; pada Level 3–4 wajib menunjuk Safety Officer serta menyiapkan SOP mitigasi tambahan. Dokumen ini juga memetakan KBLI perfilman (59111/59112/59121/59122/59131/59132) sebagai konteks kepatuhan usaha. Masukkan butir-butir ini ke subbab K3 agar artikelnya punya matriks risiko → kontrol yang operasional
2. Upah, Kontrak Kerja, dan Jaminan Sosial yang Tidak Memadai
Permasalahan lain yang mengemuka adalah upah pekerja film yang seringkali tidak memenuhi standar dan kurang terjamin pembayarannya. Status pekerjaan yang umumnya freelance atau pekerja lepas membuat banyak kru film tidak menerima upah layaknya pekerja formal. Upah minimum regional (UMR/UMK) praktis tidak berlaku karena sistem pembayaran berbasis proyek atau harian tanpa perhitungan jelas. Bahkan di beberapa daerah, survei menunjukkan mayoritas pekerja kreatif berpenghasilan di bawah UMK – misalnya, 85,6% pekerja ekonomi kreatif di Yogyakarta mendapat upah di bawah upah minimum setempat (sindikasi.org).
Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak kasus pelanggaran hak upah terjadi: pembayaran ditunda berbulan-bulan, jumlah yang dibayar lebih rendah dari yang dijanjikan, hingga upah tidak dibayar sama sekali oleh pihak produser. Praktik curang semacam ini kerap luput dari dokumentasi dan tidak dilaporkan secara resmi, karena pekerja ragu melapor (takut di-blacklist) atau tidak tahu harus mengadu ke mana. Posisi tawar individu kru yang lemah membuat mereka sering mengalah dan menerima kondisi tersebut. Malahan, di kalangan pekerja sendiri terjadi persaingan tidak sehat “banting harga” – beberapa kru bersedia dibayar lebih murah demi mendapatkan proyek, yang akhirnya menekan standar upah seluruh industri ke level lebih rendah. Konflik horizontal ini merupakan dampak lanjutan dari tiadanya standar kolektif; tanpa PKB atau serikat yang menyusun rate card minimum, tarif jasa kru film sangat bervariasi dan cenderung underpaid.
Kontrak kerja juga menjadi masalah krusial. UU Ketenagakerjaan sebenarnya mensyaratkan perjanjian kerja tertulis untuk hubungan kerja tertentu, tetapi industri film kerap mengabaikannya. Survei SINDIKASI–ICS menemukan hanya 8,22% pekerja iklan selalu menandatangani kontrak kerja tertulis, sedangkan dalam produksi film cerita panjang, penggunaan kontrak tertulis sedikit lebih sering namun masih banyak yang tidak jelas atau merugikan pekerja. Banyak kontrak yang disodorkan pun bersifat “take-it or leave-it” dari produser, tidak ada ruang negosiasi, dan isinya belum menjamin hak normatif (misalnya tidak mencantumkan kepastian upah lembur, asuransi, mekanisme komplain, dll.). Bahkan, tak jarang hubungan kerja dibiarkan tanpa kontrak sama sekali (“pengelabuan hubungan kerja”), sehingga kru berada dalam posisi rentan bila terjadi sengketa.
Dampak langsung dari ketiadaan kontrak dan standar ini adalah tidak terpenuhinya jaminan sosial bagi pekerja film. Karena dianggap bukan pekerja tetap, perusahaan produksi kerap tidak mendaftarkan kru ke program BPJS Ketenagakerjaan atau Kesehatan. Absennya jaminan sosial (jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dll.) merupakan salah satu ciri flexploitation dalam industri film. Akibatnya, jika terjadi kecelakaan di lokasi syuting atau kru jatuh sakit, tidak ada perlindungan asuransi dari pemberi kerja.
Contoh Kasus: Pada September 2024, Konde.co (sebuah perusahaan media berbasis jurnalisme perempuan) melakukan langkah progresif dengan menandatangani PKB bersama Serikat SINDIKASI yang mengikutsertakan pekerja magang dan kontributornya ke dalam jaminan sosial. Dalam kesepakatan PKB tersebut, manajemen Konde.co bersedia mendaftarkan dan menanggung iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi semua pekerja magang dan penulis lepas mereka, memberi perlindungan Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua untuk periode tertentu (blog.sindikasi.org). PKB juga memuat komitmen menciptakan tempat kerja bebas kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi. Ini merupakan contoh positif di sektor media kreatif: meski bukan industri film layar lebar, inisiatif Konde.co menunjukkan bahwa melindungi pekerja lepas dengan jaminan sosial bisa dilakukan via PKB. Sayangnya, di industri film pada umumnya belum ada praktik serupa. Kasus ini sekaligus menggarisbawahi pentingnya PKB: hal-hal seperti jaminan sosial yang selama ini luput, dapat dinegosiasikan dan diatur jelas jika serikat pekerja duduk bersama pengusaha.
3. Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Film
Isu yang kian mencuat belakangan ini adalah pelecehan seksual dan kekerasan di lokasi syuting maupun dalam relasi kerja industri film. Selama bertahun-tahun, masalah ini ibarat “gunung es” yang jarang terungkap karena korban memilih bungkam. Tidak adanya sistem penanganan internal di industri film membuat banyak insiden pelecehan tersembunyi. Kampanye global #MeToo akhirnya mendorong pekerja film Indonesia mulai angkat suara tentang pengalaman pelecehan dan seksisme di balik layar (jurnalperempuan.org).
Sejumlah kasus terkuak dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, seorang sutradara film berinisial AY dilaporkan melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap kru-nya, dan kasus ini sempat viral di media sosial. Ada pula cerita aktris yang mengalami casting couch – dijanjikan peran namun kemudian dilecehkan secara seksual oleh oknum produser. Dalam diskusi “Wajah Kekerasan Seksual dalam Industri Film” (Oktober 2022) terungkap bahwa pelecehan di industri film kerap dilakukan oleh rekan sejawat korban dan sering dianggap rahasia umum demi kelancaran produksi (jurnalperempuan.org). Bentuk pelecehan bermacam-macam, mulai dari komentar dan canda bernuansa seksual, permintaan aktor/aktris untuk beradegan vulgar di luar kesepakatan (misal kru meminta aktor menurunkan pakaian lebih dari yang diperlukan), pemanfaatan relasi kuasa oleh senior (semisal sutradara atau produser mengintimidasi pendatang baru agar “menurut”), hingga kekerasan fisik langsung. Selama ini, banyak pelaku tidak tersentuh sanksi karena korban takut kariernya hancur jika melapor – “tidak ada mekanisme yang berpihak pada korban,” sehingga korban terpaksa bungkam (hot.detik.com).
Respon terhadap isu ini mulai terlihat pada 2022, ketika komunitas film meluncurkan gerakan #RuangAmanSinema. Mulai dari rumah produksi, Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), komunitas film, aktor hingga aktris secara terbuka menyerukan komitmen membangun ruang kerja perfilman yang aman dari kekerasan seksual. Salah satu langkahnya adalah menyusun Surat Pernyataan Bersama Anti Kekerasan Seksual yang akan ditandatangani seluruh institusi di bawah Badan Perfilman Indonesia (BPI). Poin aksi lainnya meliputi pelatihan anti kekerasan seksual bagi pelaku industri, pembentukan Kode Etik dan Dewan Etik, serta pembuatan mekanisme pengaduan di tingkat asosiasi profesi maupun BPI. Upaya kolektif ini penting mengingat sebelumnya tidak ada SOP penanganan kasus pelecehan di set film. Dalam unggahan kampanye disebutkan akan dibuat SOP penanganan kekerasan seksual di tempat kerja yang berpihak pada korban, mencakup edukasi, pencegahan, perlindungan, hingga penindakan tegas atas laporan (hot.detik.com).
Perubahan mulai tampak: ketika terkuak salah satu kru film “Penyalin Cahaya” diduga terlibat pelecehan seksual, rumah produksi film tersebut cepat mengambil sikap tegas dengan menghapus nama pelaku dari credit title film. Langkah ini dipuji sebagai bentuk keberpihakan pada korban, sambil menunggu investigasi lebih lanjut. Produser eksekutif film itu menyatakan “Penghapusan nama adalah keberpihakan kami... Kebenarannya sedang kami cari, karena kami mencari fakta, bukan rumor. Tentu saja saya sebagai penyintas paham benar bagaimana melakukan ini”. Pernyataan ini menunjukkan kesadaran baru di kalangan pimpinan industri untuk tidak mentolerir pelaku kekerasan seksual.
Contoh Kasus: Gerakan Ruang Aman Sinema (Februari 2022) berhasil mendorong langkah konkret anti-pelecehan di industri film. Dengan didukung asosiasi produser dan pelaku industri, dibentuk semacam kode etik bersama dan kanal aduan. Ini sebenarnya menyerupai fungsi kolektif bargaining dalam hal non-upah: komunitas sepakat terhadap standar perilaku dan sanksi. Meskipun bukan PKB formal, kesepakatan ini ibarat “perjanjian bersama” seluruh industri untuk melindungi pekerja dari kekerasan. Apabila kelak serikat pekerja film terbentuk dan PKB disepakati, klausul-klausul mengenai lingkungan kerja bebas pelecehan tentu menjadi bagian penting (dan memang dalam model rancangan PKB SINDIKASI, terdapat pasal antidiskriminasi dan anti-kekerasan seksual (balairungpress.com).
4. Lemahnya Posisi Tawar dan Sulitnya Berserikat di Industri Film
Semua masalah di atas bermuara pada satu hal: lemahnya posisi tawar kolektif pekerja film. Selama ini pekerja film cenderung berjuang sendiri-sendiri untuk mendapatkan haknya. Tidak adanya serikat pekerja yang kuat di sektor ini membuat pekerja terfragmentasi; masing-masing khawatir ditinggalkan proyek jika bersikap vokal. Selain itu, sejarah menunjukkan upaya membentuk serikat di industri film pernah ada – misalnya Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT) yang sudah berdiri sejak lama – namun daya tawarnya memudar karena struktur keanggotaan yang lemah (banyak pekerja dianggap informal) dan kurang diakui oleh sistem hubungan industrial formal. UU Ketenagakerjaan hingga kini belum mengakui pekerja freelance secara eksplisit, sehingga mereka dianggap pekerja informal di luar skema serikat buruh tradisional.
Riset ICS dan SINDIKASI menyimpulkan, pengabaian hukum ketenagakerjaan di sektor film berlangsung sistemik, dan ketiadaan serikat/PKB membuat pelanggaran terus terjadi tanpa ada perlawanan terorganisir. Pemerintah pun dianggap belum hadir melindungi pekerja film; padahal ada tiga kementerian yang membawahi perfilman (Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif, dan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan), tetapi perhatian mereka lebih condong ke pengusaha film ketimbang pekerja. Kondisi ini diperburuk oleh normalisasi kultur kerja buruk: banyak pekerja muda merasa jam kerja gila-gilaan dan minim istirahat adalah “konsekuensi wajar” demi mengejar karier dan passion (konde.co).
Dalam diskusi publik “Susah Berserikat, PKB Jadi Opsi bagi Pekerja Lepas” (November 2023), Majelis Pertimbangan SINDIKASI Ikhsan Raharjo menjelaskan bahwa PKB dapat menjadi opsi menjamin kondisi kerja layak bagi pekerja lepas di industri kreatif. Biasanya PKB dibuat melalui perundingan serikat pekerja dengan perusahaan. Masalahnya, jarang ada serikat pekerja atau pembicaraan PKB di sektor media dan kreatif, karena seperti disebut sebelumnya, jumlah pekerja berstatus tetap sangat kecil – kebanyakan pekerja lepas. Tantangan hukum pun ada: UU Cipta Kerja 11/2020 beserta aturan turunannya justru memperketat definisi serikat pekerja yang diakui (harus berbasis perusahaan), “bertolak belakang dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia”, kata salah satu peserta diskusi (balairungpress.com). Seorang pengawas Disnakertrans DIY, Luthfi, mengakui PKB sebenarnya bisa digunakan oleh pekerja lepas asalkan dirundingkan serikat dengan pengusaha, tapi PKB semacam itu akan sulit dijalankan karena serikatnya “di luar perusahaan” (bukan serikat internal). Ini menunjukkan kerangka regulasi saat ini belum siap mengakomodasi PKB sektoral lintas perusahaan.
Walaupun sulit, benih gerakan kolektif pekerja film mulai tumbuh. Serikat SINDIKASI – yang awalnya bergerak di pekerja media digital – sejak 2022 merangkul para pekerja film dan iklan untuk berserikat. Pada 29 Maret 2022 (sehari sebelum Hari Film Nasional), SINDIKASI dan ICS meluncurkan kertas posisi “Sepakat di 14” yang berisi advokasi pembatasan waktu kerja dan perlindungan hak pekerja film. Mereka menyerukan 5 poin perbaikan, termasuk pentingnya adanya PKB antara serikat pekerja dan asosiasi pengusaha film (konde.cokonde.co). Tuntutan tersebut sejalan dengan rekomendasi mereka agar Kementerian Ketenagakerjaan turun tangan menegakkan norma kerja di sektor film, dan agar asosiasi produser (seperti APROFI) mau duduk bersama pekerja membuat standar bersama (cnnindonesia.com). Hasil dari gerakan ini, kelompok pekerja film dan iklan resmi bergabung ke dalam SINDIKASI. Ketua SINDIKASI, Ikhsan Raharjo, menyatakan “SINDIKASI siap menjadi rumah bagi pekerja film dan iklan yang ingin berserikat. Nantinya, kita akan mendorong hubungan industrial yang lebih fair di sektor film dan iklan lewat perjanjian kerja bersama serta mekanisme formal lainnya”(sindikasi.org). Ini perkembangan signifikan: untuk pertama kalinya, PKB sektoral di industri kreatif mulai diupayakan.
Selain itu, dukungan dari kalangan sineas senior turut bermunculan. Marcella Zalianty, Ketua Umum PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia), secara terbuka mengatakan kematian kru film (kasus Rifqi) adalah peringatan keras agar pelaku industri film memperhatikan kesejahteraan kru (tempo.co). Sutradara-sutradara top pun kini vokal soal pentingnya istirahat dan jam kerja normal di produksi. Dengan meningkatnya kesadaran ini, ada harapan bahwa prakarsa kolektif (baik melalui serikat informal maupun asosiasi) akan menekan pemerintah dan rumah produksi untuk melakukan perubahan nyata.
Ketiadaan PKB di Industri Film: Implikasi dan Pembacaan Kritis
PKB (Perjanjian Kerja Bersama) adalah instrumen hubungan industrial di mana serikat pekerja dan pemberi kerja bernegosiasi dan menyepakati syarat-syarat kerja secara kolektif. Secara historis, BPI sempat menginisiasi rancangan perundingan tripartit menuju PKB sektoral, Menurut keterangan Dewan Pengawas Profesi BPI Periode 2017-2020, pada masa tersebut BPI mendorong skema PKB sektoral Perfilman bahkan sudah digaungkan di periode awal, dan di periode berikutnya berbentuk perundingan tripartit (pekerja/serikat—asosiasi produser—pemerintah). Namun, draf internal yang disiapkan tidak pernah dipublikasikan/di-share ke para pemangku kepentingan, sehingga tidak berujung pada proses perundingan resmi. Pada saat yang sama, riset-advokasi ICS–SINDIKASI (‘Sepakat di 14’) mengusulkan arsitektur normatif yang konkret—batas 14 jam/hari, turnaround 10 jam, dan PKB multi-perusahaan—serta mendorong kemitraan institusional termasuk BPI dan Kemnaker untuk memastikan implementasi. Ketiadaan PKB di industri film Indonesia memiliki implikasi luas terhadap kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja film:
• Tidak ada standar baku industri: Tanpa PKB, hal-hal seperti jam kerja maksimum, tarif minimum, tunjangan, mekanisme lembur, dan jaminan keselamatan tidak diatur seragam. Setiap produksi membuat aturannya sendiri (atau bahkan tidak ada aturan sama sekali). Akibatnya, kondisi kerja sangat bergantung pada kebijakan masing-masing produser/proyek, yang seringkali mengejar efisiensi biaya dengan mengorbankan hak pekerja. Dalam industri dengan PKB (misal sektor manufaktur atau pertambangan), biasanya ada batasan jam kerja harian/mingguan dan ketentuan lembur yang jelas, sedangkan di film, aturan 8 jam kerja/hari nyaris tak berlaku. Linda Gozali dari APROFI mengakui standar 8 jam sehari sulit diterapkan di film dan mengusulkan diskusi antar pemangku kepentingan untuk mencapai “kesepakatan bersama” terkait jam kerja yang lebih realistis untuk film (era.idera.id). Diskusi seperti itu seharusnya difasilitasi dalam bentuk PKB sektor.
• Lemahnya perlindungan hukum tenaga kerja: Selama tidak ada PKB, pekerja film yang bukan karyawan tetap juga sulit mengakses perlindungan hukum ketenagakerjaan. Misalnya, aturan mengenai upah lembur, waktu istirahat, cuti, dan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan hanya berlaku untuk pekerja dengan hubungan kerja formal. Pekerja film yang freelance secara formal bukan “pekerja” menurut UU (dikategorikan sebagai pekerja harian lepas atau borongan yang aturannya minim). Tanpa PKB, posisi mereka dalam sengketa ketenagakerjaan lemah, karena tidak ada dokumen kesepakatan kolektif yang bisa dijadikan rujukan di hadapan hukum. Hal ini terbukti dari jarangnya kasus sengketa pekerja film yang sampai ke pengadilan hubungan industrial – kebanyakan selesai secara informal atau tidak terselesaikan sama sekali.
• Tidak adanya forum pengaduan dan penyelesaian masalah kolektif: PKB biasanya mencantumkan mekanisme bipartit atau lembaga bersama untuk menyelesaikan keluhan pekerja. Ketiadaan PKB berarti pekerja film tidak punya saluran resmi untuk menyuarakan keluhan (tentang upah, istirahat, pelecehan, dsb.) secara kolektif. Praktik yang terjadi, ketika ada masalah, pekerja hanya bisa mengadu secara pribadi ke atasan (yang mungkin diabaikan), atau lewat media sosial. Contoh: kasus sutradara AY yang abusive terangkat ke publik melalui Twitter, bukan melalui institusi internal. Demikian pula isu jam kerja, baru didengar ketika publik figur ikut bersuara di Instagram Stories (pasca meninggalnya Rifqi). Absennya PKB berarti absennya struktur dialog rutin antara perwakilan pekerja dan pengusaha dalam industri film.
• Kesenjangan kesejahteraan dibanding sektor ber-PKB: Dibandingkan sektor industri lain yang memiliki PKB, kesejahteraan pekerja film relatif tertinggal. Pada industri manufaktur misalnya, serikat buruh kuat memastikan upah minimum dipatuhi, ada kenaikan gaji berkala, uang lembur dibayar sesuai hukum, dan tersedia fasilitas K3. Banyak PKB sektor lain juga mengatur hal-hal seperti transportasi pulang lembur, makan, istirahat mingguan, cuti tahunan, hingga bonus. Pekerja film kerap tidak menikmati itu semua secara konsisten. Sebagai ilustrasi, pekerja media yang ber-PKB (contoh: di portal Project Multatuli yang telah menyepakati PKB dengan SINDIKASI pada 2022) setidaknya mendapat jaminan sosial dasar yang dinegosiasikan. Sedangkan mayoritas kru film bekerja tanpa jaminan sosial, apalagi kepastian kenaikan pendapatan. Tingkat keamanan kerja juga berbeda: pekerja di sektor ber-PKB biasanya lebih terlindungi dari PHK sewenang-wenang atau pemutusan kontrak sepihak, sedangkan kru film bisa tidak dilibatkan lagi tanpa kompensasi jelas jika berselisih dengan produser.
• Fenomena “anti-serikat” dan ketidakadilan berlanjut: Ketiadaan PKB bisa dilihat sebagai gejala bahwa budaya anti-serikat masih kuat di industri kreatif walau dalam sejarahnya ada Karyawan Film Televisi (KFT). SINDIKASI mencatat berkembangnya sikap anti-serikat di industri media, yang kemungkinan juga terjadi di perfilman. Pekerja yang mencoba mengorganisir diri kadang mendapat intimidasi atau di-blacklist (union busting). Kasus Septia (seorang asisten sutradara) yang pernah diangkat media menunjukkan dugaan overwork dan union busting: ia bekerja berlebihan namun ketika bicara soal haknya justru disingkirkan. Jika budaya ini dibiarkan, maka eksploitasi akan terus dianggap “biasa” dan pelaku usaha enggan diajak berunding. Pembacaan kritisnya: ketidakadaan PKB menguntungkan pihak produser/pengusaha jangka pendek (fleksibilitas tinggi, biaya rendah), tapi merugikan keberlanjutan industri film jangka panjang karena burnout pekerja, bibit konflik, dan turunnya kualitas hidup pekerja yang tentu berpengaruh ke kualitas karya.
Secara keseluruhan, absennya PKB di industri perfilman menunjukkan kesenjangan regulasi: industri ini tumbuh sebagai bagian ekonomi kreatif, tetapi regulasi ketenagakerjaannya tertinggal dibanding sektor lain. Sektor film masih diperlakukan serupa sektor informal, padahal kontribusi ekonomi dan kompleksitas kerjanya tinggi. Ini menuntut adanya inovasi dalam hubungan industrial.
Perbandingan dengan Sektor Industri Lain yang Memiliki PKB
Untuk memahami urgensi PKB di perfilman, kita dapat membandingkannya dengan sektor-sektor lain yang telah lebih mapan hubungan industrialnya. Beberapa sektor yang umum memiliki PKB antara lain manufaktur, pertambangan, perbankan, transportasi, serta media penyiaran. Berikut perbandingan kunci:
• Jam Kerja dan Lembur: Di industri manufaktur dan pertambangan yang ber-PKB, lazim diatur jam kerja normal 7-8 jam per hari, 40 jam seminggu, dengan lembur maksimum (misal 3 jam per hari, total 14 jam/minggu) sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan. PKB sering mengatur upah lembur dibayar 1,5 kali upah per jam untuk jam pertama dan 2 kali untuk berikutnya (merujuk Kepmenaker). Pekerja juga berhak menolak kerja di atas batas lembur. Kontras: di film, kru kerap kerja 16-20 jam sehari tanpa kompensasi lembur yang layak. Tidak ada batas lembur yang disepakati industri, sehingga rekor 20 jam pun terjadi. Kampanye “Sepakat di 14” mencoba mendorong maksimal 14 jam termasuk lembur, tetapi tanpa PKB, ini belum menjadi aturan luas.
• Upah dan Kepastian Penghasilan: Sektor perbankan atau perusahaan BUMN dengan PKB biasanya memastikan gaji pekerja minimal setara atau di atas UMR, plus tunjangan-tunjangan (makan, transport, kesehatan). Ada mekanisme peninjauan gaji berkala lewat perundingan. Di industri film, tidak ada standar upah minimal per posisi (misal gaji asisten kamera, gaffer, dll. berbeda tiap proyek). Akibatnya, 85% pekerja kreatif di Jogja dibayar di bawah UMK dan di kota besar pun banyak kru dibayar flat per proyek tanpa memperhitungkan jam kerja panjang. Ketidakpastian penghasilan tinggi; proyek tidak selalu ada, tapi tak ada jaminan pendapatan minimum bulanan layaknya pekerja tetap.
• Jaminan Sosial dan Kesejahteraan: Di sektor formal, PKB umumnya mewajibkan perusahaan mengikutsertakan semua karyawan dalam BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, bahkan ada tambahan asuransi swasta atau dana pensiun. Pekerja juga dapat cuti sakit, cuti melahirkan, dll. Bandingkan: sebagian besar kru film tidak didaftarkan BPJS oleh pihak produser. Jika sakit atau cedera, tanggungan biaya di pundak sendiri. Kalaupun beberapa perusahaan film besar memberi asuransi, itu inisiatif sukarela, bukan kesepakatan industri. Program jaminan hari tua nyaris tidak tersentuh bagi pekerja film freelance.
• K3 dan Lingkungan Kerja: Sektor pertambangan/ konstruksi yang ber-PKB biasanya punya Panitia K3 dan prosedur keselamatan ketat, termasuk pelatihan safety, APD (alat pelindung diri) wajib, inspeksi rutin, dsb., karena diatur baik oleh hukum maupun PKB. Pelanggaran K3 bisa dilaporkan serikat dan ditindak. Di film, kultur K3 baru mulai dibangun pasca beberapa insiden. Contoh kesepakatan komunitas soal SOP anti-pelecehan seksual itu semacam “proto-PKB” yang lahir karena vacuum peraturan. Namun, masih banyak aspek K3 (keselamatan listrik, efek, stunt) yang belum punya standar, dan tidak ada komite K3 formal di proyek film biasa.
• Mekanisme Keluhan dan Sanksi: Dalam perusahaan berserikat, PKB mengatur prosedur jika pekerja punya keluhan (grievance procedure) dan juga mengatur disiplin serta sanksi yang adil. Pekerja dilindungi dari pemecatan semena-mena; kalau terjadi perselisihan, ada perundingan bipartit dulu. Sebaliknya di industri film, pekerja yang protes soal kondisi kerja berisiko tak dipanggil kerja lagi karena tak ada perlindungan “just cause” pemutusan hubungan kerja. Perselisihan kerap berakhir dengan pekerja mengalah atau putus hubungan begitu saja. Tidak ada job security bagi mayoritas kru.
• Contoh PKB di Sektor Media: Salah satu contoh sektor terkait adalah media/jurnalistik. Beberapa perusahaan media nasional memiliki serikat dan PKB, misal di harian Kompas, Kantor Berita Antara, atau The Jakarta Post. Isi PKB mereka biasanya mencakup jam kerja wartawan, uang shift lembur, perlindungan saat penugasan berbahaya, serta asuransi kesehatan keluarga. Di media online Project Multatuli, PKB yang ditandatangani dengan SINDIKASI (2022) mengcover jaminan sosial untuk kontributor. Ini menunjukkan, meski sama-sama sektor kreatif, media yang punya PKB mampu memberi perlindungan lebih bahkan bagi pekerja tidak tetap, dibanding film yang belum punya PKB.
Dari perbandingan di atas, terlihat jelas bahwa PKB berperan sebagai payung yang memastikan kondisi kerja manusiawi dan adil. Sektor film tanpa PKB tertinggal jauh: jam kerja bisa lebih panjang, upah lebih rendah/tidak pasti, risiko K3 lebih tinggi, dan pekerja lebih rentan dieksploitasi. Dengan kata lain, PKB adalah alat pemerataan standar kesejahteraan antar sektor. Ketiadaan PKB di perfilman menjadikan sektor ini “anomali” di mana modernisasi industri tidak dibarengi modernisasi hubungan industrial.
Penutup: Menuju Perubahan – Pentingnya PKB dan Reformasi Regulasi
Analisis di atas menggambarkan kontradiksi dalam industri perfilman Indonesia: di satu sisi, film dijunjung sebagai objek kebudayaan dan sektor ekonomi kreatif unggulan oleh berbagai regulasi (UU Perfilman, UU Pemajuan Kebudayaan, UU Ekraf) (bpi.or.id), namun di sisi lain, pekerja film masih bergelut dengan kondisi kerja ala abad industri awal yang penuh eksploitasi dan minim perlindungan. Ketiadaan PKB di industri film merupakan cerminan absennya suara kolektif pekerja dalam menentukan nasib mereka sendiri.
Untuk memperbaiki kondisi ini, beberapa rekomendasi dan langkah ke depan dapat dipertimbangkan:
• Mendorong Pembentukan Serikat Pekerja Film yang Representatif: Pekerja film lintas profesi (kru produksi, artistik, pascaproduksi, aktor, dll.) perlu bersatu dalam serikat atau federasi pekerja kreatif. Upaya SINDIKASI yang merangkul pekerja film dan iklan adalah start yang baik. Dengan adanya serikat, kanal komunikasi formal dengan asosiasi produser dapat dibuka. Pemerintah sebaiknya mendukung pembentukan serikat sektor kreatif ini, misalnya dengan mengklarifikasi status pekerja freelance dalam peraturan agar dapat berorganisasi.
• Perundingan PKB Sektoral Perfilman: Langkah ideal ke depan adalah merumuskan PKB industri perfilman antara serikat pekerja film dengan asosiasi pengusaha film (misal APROFI atau Badan Perfilman Indonesia). PKB bisa dibuat berlakunya lintas perusahaan (multi-employer) mengingat sifat produksi film yang project-based. Substansi PKB harus mencakup standar jam kerja maksimal per hari, jeda istirahat minimal, skema upah lembur, standar upah minimum per posisi atau level, kontribusi jaminan sosial oleh produser, mekanisme pencegahan dan penanganan pelecehan seksual, penyediaan asuransi K3, serta mekanisme penyelesaian perselisihan. SINDIKASI telah menyiapkan model PKB yang memuat isu-isu tersebut (jam kerja, upah, alat kerja, hak reproduktif, anti-diskriminasi, inklusi disabilitas, dll.) hasil diskusi lintas sektor pekerja informal. Model ini dapat menjadi titik awal perundingan sebenarnya.
• Peran Pemerintah dalam Penegakan dan Regulasi Khusus: Kementerian Ketenagakerjaan perlu proaktif melakukan inspeksi dan penegakan norma kerja di produksi film. Aturan pelaksana (misalnya Permenaker) bisa diterbitkan untuk mengkategorikan pekerjaan film tertentu sebagai hubungan kerja yang dilindungi hukum (misal, jika proyek film durasi X hari, kru dianggap pekerja kontrak formal sehingga berhak atas lembur dsb.). Selain itu, revisi lanjutan UU Ketenagakerjaan/UU Cipta Kerja dapat memasukkan pasal yang memungkinkan perundingan sektor di industri dengan banyak pekerja lepas, sehingga PKB sektoral punya legitimasi kuat. Pemerintah (Kemnaker dan Kemendikbud/Kemenparekraf) juga bisa memfasilitasi dialog antara serikat dan asosiasi film agar tercapai kesepahaman.
• Membangun Budaya Industri yang Sehat: Pekerja dan pengusaha perlu menyadari bahwa kesejahteraan pekerja adalah investasi bagi kualitas industri. Jam kerja manusiawi akan menghasilkan pekerja yang sehat dan produktif; upah layak dan kepastian sosial akan menarik lebih banyak talenta berkualitas masuk industri film sebagai karier berkelanjutan, bukan sekadar batu loncatan. Contoh Hollywood sering dikutip: di Amerika, industri film memiliki serikat kuat (IATSE, SAG-AFTRA, DGA, WGA) yang mampu memperjuangkan kondisi kerja hingga melakukan aksi mogok bila perlu. Hasilnya, ada standar jam kerja, jeda minimal 10 jam antar syuting, asuransi kesehatan serikat, dana pensiun, residual untuk artis dan kru, dll. Indonesia dapat mengambil pelajaran bahwa kemajuan industri kreatif harus seiring dengan penghormatan terhadap pekerjanya. Tanpa itu, industri akan kehilangan tenaga kreatif andal karena kondisi yang tidak sustainable.
• Sinergi Multisektoral: Seperti dikemukakan Gunawan Paggaru (Ketua BPI), perlu sinergi kuat antara kebudayaan, ekonomi kreatif, dan perfilman (bpi.or.id). Sinergi ini seharusnya mencakup sinergi kesejahteraan pekerja. Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Ketenagakerjaan misalnya bisa berkolaborasi membuat program peningkatan kapasitas pekerja film tentang hak-haknya, sementara Kemenparekraf dapat memberi insentif pada rumah produksi yang menerapkan standar kerja layak (semacam sertifikasi produksi beretika). Pada akhirnya, tujuan memajukan film nasional tidak hanya soal jumlah film atau capaian box office, tapi juga menyejahterakan insan perfilman sebagaimana diamanatkan UU Perfilman 2009 dalam konsiderannya (“film... memiliki peran strategis dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin”)jdih.babelprov.go.id.
Sebagai penutup, ketiadaan PKB di industri perfilman bukanlah keadaan yang harus diterima selamanya. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi para pekerja film untuk berserikat dan merumuskan aturan main yang adil di industri mereka. Pendekatan “flexicurity” – fleksibilitas dengan keamanan – bisa diterapkan: produksi film dapat fleksibel, namun hak-hak dasar pekerja tetap terjamin. Dengan dukungan regulasi yang tepat dan kemauan dialog dari semua pihak, industri film Indonesia dapat menjadi lebih berkelanjutan dan manusiawi. Pekerja film yang sehat, aman, dan sejahtera akan menghasilkan karya-karya film yang lebih bermutu, sehingga visi “film sebagai pilar kebudayaan dan ekonomi” dapat tercapai tanpa mengorbankan para pelakunya.
Implikasi & Rekomendasi
Roadmap PKB Sektoral Perfilman (12–18 bulan)
Tujuan inti: menghadirkan PKB multi-perusahaan (cluster) untuk produksi film Indonesia yang mengikat standar jam kerja & istirahat (14/10), K3 & anti-pelecehan, jaminan sosial (BPJS), rate card minimum per fungsi, mekanisme keluhan & sanksi, serta penegakan bersama dan lain-lain yang disepakati bersama.
Prinsip & Ruang Lingkup
• Tripartit: perwakilan pekerja (serikat/komunitas profesi), asosiasi produser & pelaku usaha, dan pemerintah (Kemnaker, Kemenparekraf, Kemenkebud; Disnaker daerah).
• Multi-employer (lintas perusahaan): cakup produksi cerita panjang, serial/OTT, iklan, dokumenter, animasi (bertahap per klaster), perusahan bidang konten Audio Visual.
• Flexicurity: fleksibel produksi, aman & manusiawi bagi pekerja.
• Compliance-linked incentives: akses dana publik, insentif pajak, dan syarat festival/pendanaan dikaitkan pada kepatuhan PKB.
Fase Waktu & Tonggak (Milestones)
Fase 0–3 bulan — Persiapan & Mandat
• Bentuk Taskforce Tripartit PKB Perfilman + sekretariat kecil (legal, K3, data, komunikasi).
• Sahkan Nota Kesepahaman antar pihak (mandat perundingan + data sharing).
• Quick wins (90 hari):
o Adopsi Kode Praktik 14/10 (maks. 14 jam total/hari, turnaround min. 10 jam).
o SOP Anti-Pelecehan & kanal aduan independen.
o Safety Briefing harian & Stop-Work Authority (siapa pun boleh hentikan kerja saat bahaya).
o Template kontrak tertulis standar (call sheet transparan, lembur, per diem, transport/pulang larut).
• Mulai survei tarif & jam kerja nasional (rate per fungsi/level, kota, jenis produksi).
Fase 3–6 bulan — Konsolidasi Data & Draf Awal
• Terbitkan White Paper (temuan jam kerja, upah, K3, pelecehan; gap hukum; opsi klausul).
• Susun Draf PKB v0.9 berisi:
1. Jam kerja & istirahat (14/10); lembur & kompensasi.
2. K3 minimum: Safety Officer untuk produksi risiko menengah-tinggi; APD; listrik/rigging; rute evakuasi.
3. Anti-pelecehan + Intimacy coordination untuk adegan sensitif.
4. BPJS Ketenagakerjaan/Kesehatan: JKK+JKm wajib ditanggung produser untuk durasi proyek; skema BPU/JHT opsional.
5. Rate card minimum indeks UMK/biaya hidup per wilayah + eskalator tahunan.
6. Fasilitas kerja: makan, air, toilet layak; transport/hotel bila wrap larut.
7. Mekanisme keluhan (grievance) & komite bersama IR/K3.
8. Audit kepatuhan & sanksi progresif (peringatan—denda kontraktual—pelaporan Disnaker—ineligibility pendanaan).
• Uji publik (hearing) 2–3 kota + konsultasi perusahaan asuransi & platform OTT.
Fase 6–12 bulan — Perundingan & Peresmian
• Perundingan formal bab-per-bab; redlining draf; uji legalitas & keselarasan UU.
• Pilot Implementation 3–5 produksi lintas segmen (film panjang, serial, iklan) selama 8–12 minggu; kumpulkan metrik.
• Finalisasi PKB v1.0 + Pedoman Implementasi (FAQ, contoh klausul kontrak, matriks risiko-kontrol K3).
• Pendaftaran PKB ke instansi ketenagakerjaan (sesuai prosedur) dan peluncuran publik.
Fase 12–18 bulan — Roll-out & Penegakan
• Ekspansi adopsi: target ≥70% produksi beranggaran menengah-besar mengadopsi PKB/COC.
• Skema “no-PKB, no-funding”: jadikan kepatuhan syarat pendanaan, insentif, dan festival utama.
• Audit triwulanan + Laporan Kepatuhan Tahunan (terbuka).
• Negosiasi adendum v1.1 (penyesuaian tarif, K3 spesifik stunt/SFX, jam kerja anak).
Struktur Tata Kelola
• Dewan Tripartit (steerco): 12–15 orang (serikat/komunitas profesi: kru, artis, penulis; asosiasi produser/rumah produksi; pemerintah pusat/daerah).
• Sekretariat: direktur program, legal drafter, analis data/upah, ahli K3, komunikasi.
• Komite Teknis:
o K3 & Wellbeing (Safety Officer, listrik/rigging, lokasi, intimacy coordination).
o Upah & Kontrak (rate card, indeks UMK, lembur, skema BPJS).
o Etik & Pencegahan Kekerasan (SOP, kanal aduan, perlindungan korban).
Indikator Kinerja (OKR)
• O1: PKB sektoral v1.0 disahkan & terdaftar ≤12 bulan.
o KR: draf v0.9 (bulan-6), pilot (bulan-9), ratifikasi (bulan-12).
• O2: Adopsi standar jam kerja 14/10.
o KR: 50% produksi pilot patuh (bulan-9); 70% produksi ≥bulan-15.
• O3: Cakupan BPJS untuk kru proyek.
o KR: ≥80% kru pilot terdaftar JKK/JKm (bulan-9); ≥90% pada roll-out.
• O4: Penurunan insiden K3 & pelecehan.
o KR: -40% near-miss/insiden sedang-berat; seluruh laporan pelecehan ditangani ≤14 hari.
• O5: Kepastian upah & lembur.
o KR: 0 kasus upah tidak dibayar pada produksi pilot; pembayaran lembur tercatat 100%.
Risiko Dampak Mitigasi
Fragmentasi pekerja lepas/ketakutan blacklist Rendahnya partisipasi Kanal aduan anonim; perlindungan anti-retaliasi di PKB; dukungan publik sineas senior.
Penolakan sebagian produser (biaya naik) Hambat adopsi Fase pilot + bukti produktivitas (lebih sedikit reshoot/kecelakaan); hubungkan kepatuhan dengan pendanaan/insentif.
Union busting Gagal perundingan Pemantauan Disnaker; bantuan hukum; publikasi pelanggaran terkurasi.
Ketidakselarasan jadwal syuting “Spillover” lembur Cap lembur harian & mekanisme izin khusus dengan kompensasi premium + transport aman.
Kurangnya Safety Officer K3 lemah Skema pooling SO lintas produksi; pelatihan & sertifikasi kilat 40 jam.
Instrumen Kebijakan (inti klausul PKB)
• Jam kerja & istirahat: 8 jam + lembur terukur (maks total 14 jam); turnaround 10–12 jam; meal breaks jelas.
• K3 minimum: Safety Officer untuk level risiko menengah-tinggi; Stop-Work Authority; toolbox meeting harian; daftar APD; standar listrik/rigging; rencana evakuasi.
• Anti-pelecehan: definisi, larangan, prosedur pelaporan multi-kanal, dukungan korban, sanksi; Intimacy coordination bila adegan intim.
• Upah & rate card: minimum per fungsi (indeks UMK/biaya hidup + tier budget produksi); transparansi lembur; per diem, transport/hotel pasca-wrap larut.
• Jaminan sosial: BPJS JKK+JKm wajib; JHT/BPU opsional dengan cost-sharing.
• Kontrak tertulis & call sheet transparan (jam, lokasi, risiko, kontak darurat).
• Grievance & penegakan: komite bersama, SLA penanganan, audit berkala, sanksi progresif; keterkaitan dengan pendanaan & festival.
Peta Pemangku Kepentingan & Peran Singkat
• Serikat/komunitas pekerja (kru/artis/penulis/ikatan prof.): konsolidasi basis, data jam & upah, negosiator.
• Asosiasi produser/rumah produksi: komitmen adopsi, uji biaya, scheduling sesuai 14/10.
• Pemerintah (Kemnaker, Kemenparekraf, Kemendikbudristek; Disnaker): fasilitasi perundingan, edukasi, syarat pendanaan, registrasi PKB, inspeksi.
• Asuransi/BPJS: paket proyek, endorsement premi; kanal daftar massal kru.
• Festival/pendana/platform OTT: syarat kepatuhan PKB/COC untuk eligibilitas.
Perkiraan Sumber Daya (ringkas)
• Sekretariat Tripartit (12–18 bln): 6–8 FTE + honor tim teknis (~IDR all-in).
• Pilot & pelatihan (K3, anti-pelecehan, kontrak): 10–15 kelas, 300–500 peserta (~IDR jt).
• Kampanye & komunikasi (toolkit, microsite, hotline): (~IDR jt).
• Audit & evaluasi eksternal: (~IDR jt).
Artefak/Output yang Dihasilkan
• PKB Sektoral v1.0 + Pedoman Implementasi & Toolkit Produksi Patuh (template call sheet, klausul kontrak, checklist K3, SOP anti-pelecehan).
• Rate Card Minimum per fungsi & wilayah + eskalator tahunan.
• Kode Praktik 14/10 (bisa diadopsi produser sambil menunggu ratifikasi PKB).
• Dasbor Kepatuhan (komplain, insiden K3, jam kerja, cakupan BPJS).
Daftar Pustaka
Badan Perfilman Indonesia (BPI). (2023, November 15). Kementerian Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Menuju Indonesia Emas. BPI.or.id. bpi.or.id
Balairungpress. (2023, November 28). Susah Berserikat, Perjanjian Kerja Bersama Jadi Opsi bagi Pekerja Lepas. Balairungpress.com.
balairungpress.combalairungpress.com
detikcom (detikHot). (2022, February 7). Berantas Kekerasan Seksual, Pekerja Film Indonesia Suarakan Ruang Aman Sinema. Detik.com. hot.detik.comhot.detik.com
Era.id (Yesica V. Sitinjak). (2024, September 1). Ada Kru Meninggal Dunia, Sineas Indonesia Tuntut Pembenahan Sistem Kerja Industri Perfilman. Era.id. era.idera.id
Era.id (Nurul Tryani). (2023, March 8). Tidak Punya Jam Kerja yang Pasti, APROFI Dorong Industri Film Terapkan Asuransi Kesehatan untuk Kru. Era.id. era.idera.id
Jurnal Perempuan. (2022, October 18). Kekerasan Seksual: Isu yang Terpinggirkan dari Industri Film Kita. JurnalPerempuan.org. jurnalperempuan.org
Konde.co (Luviana). (2022, March 30). 30 Maret Hari Film Nasional: Ironis, Pekerja Film Masih Bekerja 16–20 Jam Perhari. Konde.co – Suara Pekerja. konde.cokonde.co
Konde.co (Tim Konde). (2024, September 22). Pekerja Magang dan Kontributor Konde.co Terlindungi Jaminan Sosial. Blog Serikat SINDIKASI. blog.sindikasi.org
Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. (2009). Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 141. bpi.or.id
Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. (2017). Lembaran Negara RI Tahun 2017 No. 104. kebudayaan.kemdikbud.go.id
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. (2014). Lembaran Negara RI Tahun 2014 No. 266.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. (2019). Lembaran Negara RI Tahun 2019 No. 191.
Indonesian Cinematographers Society. (2022, May 20). ‘Sepakat di 14’: Sebuah upaya pembenahan kondisi. theics.id. https://theics.id/. theics.id
SINDIKASI. (2022, March 29). Kertas posisi: Sepakat di 14. https://sindikasi.org/ (PDF ringkas temuan survei & advokasi pembatasan jam kerja). sindikasi.org
Badan Perfilman Indonesia. (2017–2020). Dokumen Profil BPI 2017–2020 [PDF]. https://www.bpi.or.id/. BPI
Indonesian Cinematographers Society. (2023, Feb 25). ICS sedang meneliti isu K3 (bekerja pada ketinggian & kerja listrik) [Instagram post]. https://instagram.com/… (penekanan fokus K3 oleh ICS). Instagram
AriaAgni. (2025, May 16). Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di set dan studio [Forum post]. Literasi Seni. https://sekolahseni.com/… (konsep peningkatan risiko & kewajiban Safety Officer untuk level risiko tinggi; pemetaan KBLI). sekolahseni.com
