Earth nature field

Sumber Daya Seni Kreatif

Pekerja Seni yang mendapatkan hak ekonomi sesuai kompetensinya (sertifikat - skill set) selain kreator/seniman/pencipta yang juga mendapatkan Hak Ciptanya
Post Reply
AriaAgni
Peserta
Posts: 6
Joined: Wed Apr 23, 2025 2:34 am

Sumber Daya Seni Kreatif

Post by AriaAgni »

Sumber Daya Seni Kreatif: Struktur Peran, Tanggung Jawab, dan Hak dalam kesenian.id – Perbandingan Indonesia dan Global

Abstrak

Ekosistem seni kreatif terdiri dari berbagai peran dan profesi yang saling mendukung penciptaan, produksi, dan distribusi karya seni. Artikel ini mengkaji struktur peran-peran utama dalam ekosistem seni – termasuk seniman, artisan, pekerja seni, player-pemusik/pelaku seni pertunjukan, dan artis – beserta tanggung jawab dan kontribusi masing-masing terhadap karya seni. Selain itu, dibahas pula hak-hak hukum dan profesional yang melekat pada tiap kelompok peran, seperti perlindungan hak cipta, hak terkait bagi pelaku pertunjukan, serta pengakuan status profesi. Analisis difokuskan pada konteks Indonesia, merujuk pada sumber-sumber lokal (termasuk kesenian.id dan Undang-Undang Hak Cipta Indonesia), dibandingkan dengan praktik dan regulasi pada tingkat global. Studi kasus konkret dari Indonesia dan negara lain disertakan untuk mengilustrasikan persamaan dan perbedaan dalam penerapan hak dan tanggung jawab di sektor seni. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun peran dan prinsip hak seniman diakui secara universal, terdapat perbedaan penekanan antara Indonesia dan dunia internasional, terutama dalam hal perlindungan hukum, dukungan institusional, dan pemahaman masyarakat terhadap profesi di bidang seni.

Pendahuluan

Sektor seni dan budaya melibatkan berbagai sumber daya manusia kreatif dengan peran dan keahlian berbeda. Sebuah ekosistem seni mencakup para pelaku yang berkontribusi mulai dari penciptaan karya hingga pertunjukan dan manajemen, menciptakan jaringan kolaboratif yang kompleks. Pemahaman mengenai struktur peran, tanggung jawab, serta hak-hak yang dimiliki setiap pelaku dalam ekosistem ini penting untuk memastikan praktik profesional yang adil dan keberlanjutan industri kreatif. Di Indonesia, diskursus mengenai posisi seniman versus artis, maupun istilah seperti pekerja seni, mengindikasikan adanya nuansa dalam cara peran-peran ini dipersepsi oleh masyarakat dan diatur oleh kebijakan . Sementara itu, pada tataran global, organisasi internasional dan banyak negara telah mengembangkan kerangka kerja untuk melindungi hak-hak pelaku seni, seperti UNESCO dengan Recommendation concerning the Status of the Artist (1980) yang menyerukan peningkatan jaminan sosial dan pengakuan profesi bagi para seniman .

Penelitian ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif lima kategori peran utama dalam ekosistem seni kreatif: (1) Seniman, (2) Artisan (Perajin), (3) Pekerja Seni, (4) Player - Pemusik/Pelaku Seni Pertunjukan, dan (5) Artis. Setiap sub-seksi akan menguraikan definisi peran, contoh tugas dan kontribusi dalam proses kreatif, serta hak-hak profesional dan hukum yang melekat. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta 2014) sebagai landasan regulasi di Indonesia, artikel ini akan membandingkannya dengan praktik internasional dalam perlindungan hak kekayaan intelektual dan hak-hak pekerja seni. Studi kasus dari Indonesia dan negara lain diberikan untuk memperjelas implementasi nyata dari prinsip-prinsip tersebut.

Melalui pembahasan ini, diharapkan muncul pemahaman yang lebih jelas tentang bagaimana peran-peran dalam industri seni saling melengkapi, apa tanggung jawab etis dan profesional masing-masing, serta sejauh mana hukum dan kebijakan mendukung hak-hak para pelaku seni baik di Indonesia maupun secara global.

Peran dalam Ekosistem Seni Kreatif

Ekosistem seni mencakup beragam peran dengan fungsi spesifik. Berikut adalah peran-peran utama – seniman, artisan, pekerja seni, pemusik/pelaku, dan artis – serta tidak berhenti di produksi tapi diseminasi, eksebitor hingga pengarsipan (kesenian.id) beserta karakteristik dan tanggung jawabnya, diikuti perbandingan konteks Indonesia dan global.

1. Seniman (Kreator)

Definisi dan Ruang Lingkup: Seniman umumnya merujuk pada individu yang menciptakan karya seni orisinal melalui kreativitas dan keahlian estetikanya . Dalam bahasa Inggris, istilah ini sepadan dengan artist, meski dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari kata “artis” sering kali diartikan sempit sebagai selebritas di dunia hiburan . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artis diartikan sebagai “ahli seni; seniman, seniwati (seperti penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama)” . Dengan demikian, istilah seniman mencakup berbagai profesi kreatif: pelukis, pematung, penulis, penyair, komposer musik, koreografer, sutradara, dan lain-lain – yakni mereka yang menghasilkan ciptaan seni di bidang seni rupa, sastra, musik, teater, film, tari, dan media ekspresi lainnya.

Tanggung Jawab dan Kontribusi: Seorang seniman bertanggung jawab dalam menuangkan gagasan, emosi, dan imajinasi ke dalam medium seni sehingga menghasilkan karya yang bernilai estetika maupun makna bagi penikmatnya . Mereka umumnya berperan sebagai pencipta utama (originator) suatu karya, memastikan orisinalitas dan kualitas konsep. Kontribusi seniman terhadap karya seni meliputi:
• Kreasi Orisinal: Merancang dan membuat karya yang unik sebagai ekspresi pribadi maupun refleksi sosial-budaya. Misalnya, pelukis Indonesia Affandi menghasilkan lukisan ekspresionis otentik yang merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia .
• Inovasi dan Eksplorasi: Mendorong batas-batas bentuk atau genre seni yang ada. Seorang seniman sering bereksperimen dengan teknik atau ide baru, yang dapat mendorong perkembangan disiplin seni terkait.
• Pelestarian Nilai Budaya: Khususnya dalam konteks Indonesia, seniman kerap memikul tanggung jawab melestarikan dan mempromosikan identitas budaya melalui karya. Seno Joko Suyono, kurator seni rupa, menyatakan bahwa seniman memiliki tanggung jawab besar mempertahankan seni rupa Indonesia dengan terus berkarya menunjukkan identitas khas bangsa .
• Komunikasi dan Edukasi: Karya seni sering menjadi media komunikasi gagasan kritis atau emosi kepada publik. Dengan demikian, seniman menjembatani pengalaman estetis antara pencipta dan audiens, bahkan memantik diskusi sosial.

Dalam realitas modern, banyak seniman juga menghadapi tuntutan entrepreneurial – memadukan idealisme kreatif dengan keberlanjutan finansial. Mereka mungkin harus menggelar pameran atau pertunjukan, menjual karya, dan berkolaborasi dengan industri kreatif agar karya mereka diapresiasi luas . Namun, esensi utama profesi seniman terletak pada komitmen terhadap proses kreatif dan integritas artistik. Hal ini ditegaskan oleh pandangan bahwa “seniman sejati tetap setia pada proses kreatif dan nilai seni, bahkan ketika dihadapkan pada tantangan komersial” .

Konteks Indonesia vs Global: Di Indonesia, istilah seniman kadang tumpang tindih dengan artis dalam percakapan populer, sehingga seniman kerap diasosiasikan dengan figur terkenal atau selebritas media . Padahal, seniman dalam pengertian asli lebih menitikberatkan pada kualitas dan capaian artistik, bukan semata popularitas . Banyak seniman Indonesia yang dihormati bukan karena ketenaran luas, melainkan berkat dedikasinya pada seni tradisi atau kontribusi pada wacana budaya (contohnya, para maestro seni tradisional yang mendapat penghargaan Maestro Seni Tradisi dari pemerintah).

Secara global, konsep artist meliputi baik seniman murni maupun kreator dalam industri budaya yang lebih komersial. Kebanyakan negara tidak membedakan terminologi “artist” vs “artiste” seperti di Indonesia, sehingga musisi atau aktor pun dianggap artist sejauh mereka terlibat dalam penciptaan atau performance seni. Namun, pada praktiknya terdapat kategori khusus: misalnya author dalam hukum hak cipta mengacu pada seniman pencipta karya (penulis, komposer, pelukis, dsb.), sedangkan performing artist mengacu pada seniman pelaku (penyanyi, aktor, penari). Di kancah internasional, apresiasi dan perlindungan terhadap seniman kreator biasanya difokuskan pada hak cipta (copyright) dan penghargaan atas karya orisinal mereka, yang akan dibahas di bagian berikutnya.

2. Artisan (Perajin)

Definisi dan Ruang Lingkup: Artisan atau perajin adalah pekerja seni terampil yang menciptakan barang-barang/prpduk seni dan kerajinan secara manual, seringkali bersifat fungsional ataupun dekoratif. Kategori ini mencakup pengrajin tradisional maupun kontemporer: misalnya pembatik, pemahat kayu, pengrajin perak, pembuat keramik, pandai besi, penenun tekstil, dan sebagainya. Menurut definisi KBBI yang diadaptasi dalam literatur, perajin adalah orang yang profesinya membuat barang kerajinan tangan . Hasil karya artisan bisa berupa craft murni (dekoratif) maupun benda pakai bernilai seni (seperti furnitur berukir, kain tenun tradisional, perhiasan, dll.). Tapi tidak lepas dari talenta teknologi baru sebagai operator yang handal yang memiliki rasa artistik sebagai kunci sebagai master.

Tanggung Jawab dan Kontribusi: Artisan bertanggung jawab menjaga kualitas keterampilan dan craftsmanship dalam setiap karyanya. Kontribusi artisan terhadap dunia seni dan budaya antara lain:
• Keahlian Teknis dan Kriya: Artisan menguasai teknik khusus yang sering diperoleh melalui latihan bertahun-tahun, magang, atau tradisi turun-temurun. Mereka menghasilkan karya dengan presisi dan keindahan teknis tinggi, menjadikan objek keseharian memiliki nilai estetik.
• Pelestarian Tradisi dan Warisan Budaya: Banyak artisan bekerja dalam ranah seni tradisional, sehingga peran mereka krusial untuk meneruskan pengetahuan dan gaya khas (misalnya motif batik, ukiran etnik, anyaman rotan) ke generasi berikutnya. Mereka menjembatani masa lalu dan masa kini melalui adaptasi motif dan teknik klasik dalam konteks modern.
• Inovasi Terapan: Walaupun berpijak pada keterampilan yang mapan, para perajin juga dapat berinovasi, menciptakan desain baru atau menggabungkan fungsi modern dengan estetika tradisional. Inovasi ini membantu kerajinan tetap relevan dan diminati pasar masa kini.
• Ekonomi Kreatif Lokal: Artisan kerap berperan sebagai penggerak ekonomi kreatif di komunitasnya. Produk kerajinan lokal dapat membuka lapangan kerja, menjadi komoditas ekspor, dan membangun branding budaya suatu daerah (misalnya kerajinan perak Kotagede, tenun Ikat NTT, dll.).

Menariknya, terdapat pandangan bahwa dengan tingkat keahlian dan ekspresi yang tinggi, seorang artisan dapat mencapai tataran ungkapan layaknya seniman. Batas antara seni murni dan kriya terkadang kabur – banyak seniman besar yang karyanya bersifat fungsional, dan banyak perajin menghasilkan karya one-of-a-kind bernilai seni tinggi. Kritik seni Barat klasik pernah membedakan “fine art” vs “craft” secara hierarkis, namun pandangan modern lebih menghargai keduanya setara sebagai bentuk ekspresi budaya. Di Indonesia, gelar seperti Empu atau Maestro diberikan kepada perajin tradisi yang inovatif, mengakui status mereka sejajar dengan seniman kreator.

Konteks Indonesia vs Global: Di Indonesia, artisan sering dikategorikan dalam ranah seni rupa terapan atau kriya. Pemerintah Indonesia melalui UU Pemajuan Kebudayaan (UU No. 5 Tahun 2017) mengakui tradisi lisan, adat istiadat, dan keahlian tradisional sebagai objek pemajuan kebudayaan, yang implisitnya mencakup para perajin tradisional sebagai penjaga warisan budaya. Dalam hal hak kekayaan intelektual, karya-karya artisan jika orisinal juga dilindungi sebagai ciptaan seni rupa atau desain industri. Namun, banyak hasil kerajinan tradisional dikategorikan sebagai ekspresi budaya tradisional (EBT) yang kepemilikannya bersifat komunal. UU Hak Cipta 2014 menyatakan bahwa folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama dilindungi oleh negara atas nama komunitas pemiliknya, dan hak cipta atasnya tidak dibatasi waktu tertentu . Ini berarti, motif atau desain tradisional (seperti motif songket, batik klasik) tidak bisa dipatenkan secara pribadi oleh individu; negara bertindak sebagai pemegang hak untuk mencegah klaim sepihak, terutama oleh pihak asing, atas warisan komunal tersebut. Contoh konkret, Indonesia proaktif mendaftarkan ragam motif batik dan tari tradisional ke UNESCO serta sistem hukum nasional setelah beberapa insiden “klaim” budaya oleh pihak luar. Hal ini melindungi artisan lokal dari eksploitasi dan memastikan mereka mendapat pengakuan sebagai penerus tradisi.

Secara global, apresiasi terhadap artisan meningkat seiring tren heritage crafts dan slow design. Banyak negara memiliki program sertifikasi atau indikasi geografis untuk produk kerajinan (contohnya, Prancis dengan label Métiers d’Art, Jepang dengan gelar Living National Treasure bagi master craftsperson). Dalam lingkup hak kekayaan intelektual, alat seperti geographical indications (GI), collective trademarks, dan hak desain sering digunakan untuk melindungi produk kerajinan tangan dari tiruan massal . Namun, sistem hak cipta tradisional kurang fleksibel melindungi motif tradisional yang sudah lama ada. WIPO (World Intellectual Property Organization) telah mengakui keterbatasan ini dan mendorong pendekatan khusus untuk traditional cultural expressions, agar komunitas artisan mendapatkan manfaat ekonomi dan moral yang layak dari warisan mereka. Secara umum, artisan di kancah global mulai diakui sebagai bagian integral dari industri kreatif, bukan lagi dianggap sekadar pekerja manual, melainkan kreator yang berhak atas perlindungan hukum dan dukungan layaknya seniman lainnya.

3. Pekerja Seni (Profesional Pendukung Seni)

Definisi dan Ruang Lingkup: Pekerja seni adalah istilah luas untuk menyebut siapa saja yang bekerja di sektor seni, mencakup baik yang tampil di depan publik maupun bekerja di balik layar dalam proses kreatif. Berbeda dari seniman yang lebih terfokus pada penciptaan karya, pekerja seni menekankan peran fungsional atau teknis dalam industri seni. Istilah ini dapat meliputi beragam profesi, antara lain: publiser, kurator, manajer panggung, manajer produksi, pencatat notasi, penata rias dan busana teater, teknisi tata cahaya dan tata suara, editor film, hingga administrator seni atau staf galeri. Bahkan, dalam konteks tertentu, artis atau musisi pun bisa disebut pekerja seni ketika ditekankan aspek “pekerjaannya” alih-alih status senimannya, khususnya bidang diseminasi dan eksebisi yang mendukung sebuah karya seni yang memiliki keahlian komunikasi dan teknologinya. Pemerintah Indonesia melalui regulasi perpajakan menggolongkan profesi seperti pemain musik, sutradara, kru film, penari, model, pembawa acara, komedian, dsb. sebagai “pekerjaan bebas” kategori artis/pekerja seni untuk keperluan perhitungan pajak . Hal ini menunjukkan luasnya cakupan pekerja seni sebagai profesi.

Tanggung Jawab dan Kontribusi: Pekerja seni berkontribusi memastikan karya seni dapat terwujud dan tersaji dengan baik kepada khalayak. Tanggung jawab mereka cenderung spesifik sesuai peran masing-masing, misalnya:
• Pendukung Produksi dan Teknis: Kru panggung, penata artistik, penata suara/cahaya bertanggung jawab atas aspek teknis pementasan atau pameran. Mereka memastikan visi kreatif seniman dapat direalisasikan secara optimal dalam realitas (panggung, ruangan galeri, rekaman, dll.). Meskipun jarang terlihat, kontribusi mereka esensial terhadap kualitas akhir sebuah pertunjukan atau pameran .
• Manajemen dan Kurasi: Produser, manajer proyek, dan kurator seni bertanggung jawab merencanakan, mengorganisasi, serta mengkurasi karya seni. Mereka menjembatani antara seniman dan audiens/pasar, memfasilitasi pembiayaan, promosi, sampai penyajian karya. Keputusan kuratorial atau produksi dapat sangat menentukan apresiasi publik terhadap karya seni, termasuk pekerja di bidang publikasi dan eksebisi hingga pengarsipan.
• Edukasi dan Pendampingan: Beberapa pekerja seni berperan sebagai pendidik atau pelatih – misalnya pelatih vokal, koreografer yang melatih penari, atau art handler yang mendampingi seniman dalam instalasi karya. Mereka mentransfer pengetahuan teknis maupun menjaga standar profesional dalam proses kreatif.
• Administrasi dan Kebijakan: Termasuk di sini adalah para pengelola lembaga budaya, staf administrasi galeri, hingga peneliti atau penulis kritik seni. Mereka bekerja agar ekosistem seni berjalan lancar secara kelembagaan, mengadvokasi kebijakan yang mendukung seni, dan membangun apresiasi melalui dokumentasi serta kritik.

Secara ringkas, pekerja seni “mungkin tidak dikenal publik secara luas, tetapi peran mereka esensial dalam keberhasilan suatu karya seni” . Banyak dari mereka bekerja di belakang layar; sukses tidaknya sebuah produksi sering kali tergantung pada profesionalisme para pekerja seni ini.

Konteks Indonesia vs Global: Di Indonesia, kesadaran akan eksistensi pekerja seni sebagai kategori profesional yang membutuhkan perlindungan dan standar kerja yang layak masih berkembang. Selama ini, beberapa sub-profesi telah memiliki asosiasi (misalnya KFT – Asosiasi Karyawan Film & Televisi Indonesia yang mencakup kru film dan pekerja TVRI pada zamannya; ATNI – Asosiasi Teater Nasional Indonesia; ataupun himpunan pekerja seni tradisi). Namun, regulasi ketenagakerjaan khusus bagi pekerja seni belum banyak diatur selain dalam konteks umum ketenagakerjaan dan pajak. Kondisi ini kadang membuat pekerja seni rentan secara ekonomi, misalnya mereka bekerja proyek demi proyek tanpa jaminan sosial. Peran Koalisi Seni Indonesia dan organisasi advokasi lainnya cukup penting dalam menyoroti isu kesejahteraan pekerja seni, termasuk kebebasan berekspresi dan income security. Misalnya, Koalisi Seni mendorong agar seniman dan pekerja kreatif diakui hak-hak dasarnya seperti pekerja sektor lain, termasuk perlindungan dari sensor dan intimidasi .

Di tingkat global, banyak negara maju telah memiliki framework perlindungan tenaga kerja seni. Uni Eropa, misalnya, melalui berbagai negara anggotanya memberikan status khusus bagi seniman dan pekerja budaya: Perancis memiliki sistem asuransi pengangguran bagi intermittents du spectacle (pekerja seni pertunjukan paruh waktu), Kanada memiliki Status of the Artist Act yang mengakui seniman dan pekerja seni sebagai kontraktor independen dengan hak berorganisasi dan negosiasi , dan di banyak negara terdapat serikat pekerja kuat seperti Stage Employees Union, Screen Actors Guild (untuk aktor dan kru film di AS), dsb. Yang menarik, UNESCO dalam Recommendation concerning the Status of the Artist (1980) menegaskan bahwa seniman sepatutnya diakui sebagai pekerja budaya yang berhak atas jaminan sosial, kondisi kerja layak, dan perlindungan hukum yang setara dengan sektor lain . Rekomendasi ini mencakup tidak hanya seniman pencipta, tetapi juga artis pertunjukan dan semua profesional seni, dengan tujuan agar negara-negara memperbaiki kondisi jaminan sosial, hak buruh, dan perpajakan bagi mereka . Dengan demikian, di level global terdapat dorongan kuat untuk menghilangkan stereotip bahwa pekerja seni berbeda dengan “pekerja” pada umumnya – mereka berhak atas upah yang adil, jam kerja wajar, hak untuk berserikat, dan memperoleh manfaat asuransi atau pensiun. Tantangan yang masih ada adalah sifat pekerjaan seni yang sering freelance atau proyek, namun beberapa model (seperti di Eropa) telah menunjukkan bahwa mekanisme perlindungan bisa dirancang menyesuaikan pola kerja tersebut.

4. Player - Pemusik dan Pelaku Seni Pertunjukan

Definisi dan Ruang Lingkup: Kategori Player - pemusik/pelaku seni pertunjukan mencakup seniman yang menampilkan atau mempertunjukkan karya seni di hadapan audiens. Ini meliputi musisi (instrumentalis, penyanyi), aktor teater dan film, penari, dalang, pesulap, performer seni tradisional (seperti wayang orang, penari tari tradisi), dan sejenisnya. Dalam UU Hak Cipta Indonesia, istilah resmi yang digunakan adalah “Pelaku Pertunjukan”, didefinisikan sebagai “seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukkan suatu ciptaan”. Dengan kata lain, pelaku seni pertunjukan adalah interpretator – mereka menghidupkan karya cipta (misal naskah drama, komposisi lagu, koreografi) melalui penampilan mereka. Seorang pelaku bisa membawakan karyanya sendiri (contoh: penyanyi-penulis lagu membawakan lagu ciptaannya sebagai seniman) atau membawakan karya pihak lain (contoh: aktor memerankan karakter dalam naskah yang ditulis orang lain).

Tanggung Jawab dan Kontribusi: Para player, musisi dan pelaku pertunjukan memiliki tanggung jawab utama untuk menyajikan karya seni secara berkesan dan komunikatif kepada penonton. Kontribusi mereka mencakup:
• Interpretasi Artistik: Mereka menerjemahkan teks, skor musik, atau koreografi menjadi pengalaman nyata. Setiap penyanyi atau aktor membawa penghayatan tersendiri, sehingga dua pementasan atas karya yang sama bisa terasa berbeda bergantung interpretasi pelakunya.
• Keterampilan Teknis & Ekspresi: Pemusik/aktor/penari berlatih intensif untuk menguasai teknik vokal, instrumental, akting, gerak tubuh, dsb., agar dapat menampilkan pertunjukan dengan kualitas tinggi. Disiplin latihan ini merupakan tanggung jawab profesional untuk menghormati karya cipta dan memenuhi ekspektasi audiens.
• Improvisasi dan Kreativitas dalam Batas Karya: Banyak pelaku pertunjukan juga menambahkan unsur improvisasi atau adaptasi yang kreatif. Misalnya, musisi jazz melakukan improvisasi melodi, penari tradisional menyesuaikan gerak sesuai konteks pertunjukan, aktor film mengembangkan karakterisasi mendalam – kontribusi kreatif ini memperkaya karya asli.
• Engagement dengan Publik: Pelaku seni pertunjukan adalah wajah terdepan yang berinteraksi dengan penonton. Mereka memikul tanggung jawab menjaga emosi dan atensi audiens sepanjang pertunjukan. Keberhasilan sebuah konser musik atau pementasan teater sangat ditentukan oleh kemampuan performer membangun koneksi dengan penonton, menyampaikan emosi karya, dan menciptakan pengalaman kolektif.

Sebagai ilustrasi, seorang aktor film tidak hanya menghafal dialog, tetapi juga harus menginterpretasi karakter dan menyampaikan emosi secara autentik; seorang pemain gamelan memiliki tanggung jawab menjaga harmoni dan dinamika bersama dalam ansambel; seorang penyanyi memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menyalahgunakan panggung (misal dengan ujaran kebencian) dan fokus menghibur serta menginspirasi. Dengan kata lain, pelaku seni pertunjukan menjembatani visi kreator dan apresiasi penonton melalui performa mereka.

Konteks Indonesia vs Global: Di Indonesia, para pelaku seni pertunjukan berada pada posisi yang paradoks: di satu sisi, banyak yang sangat populer dan dicintai masyarakat (misal aktor sinetron, penyanyi pop, komedian), namun di sisi lain, secara hukum dan perlindungan karier, mereka baru mulai mendapatkan perhatian. UU Hak Cipta 2014 memberikan landasan hukum bagi hak terkait pelaku pertunjukan, yang mengakui bahwa penampil memiliki hak ekonomi atas pertunjukannya, terpisah dari hak cipta pencipta karya . Ini sejalan dengan standar internasional (seperti Rome Convention 1961 dan WPPT 1996) yang mengakui performers’ rights. Di Indonesia, pelaku pertunjukan berhak mendapatkan Royalti bila penampilan mereka direkam dan dieksploitasi (misal melalui penjualan rekaman, penayangan di media, streaming digital) . Jangka waktu perlindungan hak terkait untuk pelaku pertunjukan adalah 50 tahun sejak pertunjukan direkam atau disiarkan (berdasarkan UU 28/2014 Pasal 30). Selain hak ekonomi, pelaku pertunjukan juga diakui memiliki hak moral atas penampilannya – artinya, nama mereka sebagai penampil harus tetap dihormati dan tidak boleh ada distorsi yang merugikan reputasi mereka . Misalnya, jika rekaman pertunjukan akan diedit atau digunakan ulang, harus dengan izin dan tetap mencantumkan nama performer. Ini merupakan peningkatan signifikan dari undang-undang sebelumnya dan memberikan dasar bagi performer Indonesia untuk menuntut penghargaan yang layak.

Namun, dalam praktik, banyak musisi atau aktor di Indonesia yang menghadapi kendala seperti kontrak yang tidak adil dengan manajemen atau label. Kasus draft RUU Permusikan 2019 sempat menimbulkan kontroversi; niatnya mengatur industri musik agar musisi mendapat ekosistem lebih baik, tapi mendapat penolakan luas karena sejumlah pasal dinilai berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan terlalu mengatur kreativitas . Hal ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara regulasi perlindungan dan kebebasan artistik bagi performer.

Di sisi global, artis pertunjukan umumnya telah lama memiliki perlindungan hak terkait di banyak negara. Serikat pekerja seperti SAG-AFTRA (Screen Actors Guild‐American Federation of Television and Radio Artists), IATSE (The International Alliance of Theatrical Stage Employees, Moving Picture Technicians, Artists and Allied Crafts) di AS, atau FIM (International Federation of Musicians) secara global, memperjuangkan hak-hak performer mulai dari upah minimum, residuals (royalti siaran ulang), hingga kondisi kerja di lokasi syuting atau konser. Sebagai contoh, aktor film di banyak negara Eropa dianggap co-author film bersama sutradara dan penulis skenario, sehingga mendapatkan persentase royalti. Contoh kasus global yang menonjol mengenai hak performer adalah perjuangan musisi untuk memperoleh royalti yang adil di era digital. Misalnya, persatuan musisi di berbagai negara menuntut platform streaming membayar lebih baik per putaran lagu, karena pendapatan musisi dari penjualan fisik merosot. Selain itu, sengketa antara artis dan label rekaman sering mencuat terkait kepemilikan master rekaman. Kasus penyanyi Taylor Swift di Amerika Serikat menjadi contoh terkenal: merasa hak dan karyanya terbelenggu kontrak lama, ia memutuskan merekam ulang album-album lamanya agar memiliki master recording sendiri dan merebut kembali kendali ekonomis atas musiknya . Langkah ini dipuji sebagai preseden penting bagi hak musisi atas karya mereka, menyoroti bahwa secara global, artis pertunjukan semakin menyadari dan memperjuangkan hak-hak mereka dalam industri yang sering didominasi pemegang modal.

5. Artis (Entertainer dan Figur Publik di Industri Seni)

Definisi dan Ruang Lingkup: Istilah artis dalam konteks Indonesia sering digunakan untuk menyebut pelaku seni yang tampil di media massa dan dikenal luas oleh publik, seperti aktor film/televisi, selebritas musik, model, pembawa acara, dan figur hiburan lainnya . Dengan kata lain, “artis” di Indonesia berkaitan erat dengan status popularitas sebagai publik figur di bidang seni. Sering dikatakan, “setiap orang yang sering tampil di televisi disebut artis” . Padanan bahasa Inggris yang mendekati adalah entertainer atau performer dalam arti umum, meskipun sebenarnya kata artist dalam bahasa Inggris berarti seniman secara luas. Dalam artikel ini, artis dibedakan dari seniman untuk menggarisbawahi konteks persepsi: seniman lebih pada kreator (artist dalam sense tradisional), sedangkan artis adalah pelaku seni populer (celebrity artist). KBBI sendiri menyamakan artis dengan seniman/seniwati, namun penggunaan sehari-hari di Indonesia membedakan keduanya.

Tanggung Jawab dan Kontribusi: Seorang artis, sebagai figur publik di industri hiburan, memiliki tanggung jawab ganda: pada karyanya dan pada audiens/penggemar. Kontribusi mereka dapat dilihat dari dua sisi tersebut:
• Kontribusi Seni/Hiburan: Artis memberikan hiburan, inspirasi, dan emosi kepada masyarakat melalui penampilannya di panggung atau layar. Mereka sering menjadi ikon atau representasi dari sebuah produksi seni (film, sinetron, konser). Performa artis yang baik dapat menentukan kesuksesan komersial dan artistik suatu karya.
• Pengaruh Publik dan Tanggung Jawab Sosial: Karena sorotan media, artis memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini atau tren sosial. Ada tanggung jawab implisit untuk menjaga citra yang positif, memberikan teladan (misalnya dalam hal etika kerja atau kepatuhan hukum), dan kadang terlibat dalam kegiatan sosial (duta kampanye, kegiatan filantropi, dsb.). Sisi ini unik pada artis, sebab seniman non-selebriti biasanya tidak punya beban ekspektasi publik yang sama.
• Profesionalisme dan Branding: Artis sering harus mengelola karier sebagai sebuah merek. Mereka berkolaborasi dengan manajer, agen, publisis untuk menjaga popularitas dan mendapatkan proyek. Tanggung jawab profesional artis termasuk disiplin terhadap jadwal produksi, menjaga kualitas penampilan meski di bawah tekanan publisitas, serta menghormati kontrak dengan rumah produksi atau label.
• Kolaborasi Tim: Dalam produksi hiburan, artis biasanya bekerja dalam tim besar (sutradara, produser, kru). Seorang artis bertanggung jawab memerankan perannya sebaik mungkin sesuai arahan, demi keberhasilan bersama.

Meskipun beberapa tanggung jawab di atas serupa dengan pelaku seni pertunjukan pada umumnya, perbedaan artis terletak pada intensitas sorotan publik. Hal ini membawa konsekuensi: misalnya, kegagalan seorang artis bisa sangat terbuka diperbincangkan media, dan kesuksesannya pun diagungkan – keduanya mempengaruhi ekosistem seni karena publik sering mengidentikkan kualitas karya dengan performa artis yang terlihat.

Konteks Indonesia vs Global: Di Indonesia, fenomena artis sangat menonjol di industri film, televisi, dan musik populer. Stigma yang kadang muncul adalah anggapan bahwa “artis belum tentu seniman” – yakni, tidak semua artis memiliki kemampuan atau integritas artistik sekelas seniman murni; beberapa mungkin terkenal lebih karena sensasi atau penampilan daripada prestasi seni. Hal ini sering menjadi bahan diskusi budaya populer. Namun, banyak juga artis Indonesia yang berkualitas dan berhasil menjembatani popularitas dengan prestasi seni (misal penyanyi Anggun yang diakui secara internasional, aktor Christine Hakim yang juga pegiat seni budaya). Dari sisi perlindungan, artis sebagai individu publik di Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus, tetapi tercakup dalam berbagai regulasi umum: hak cipta dan hak terkait melindungi karya atau penampilan mereka; undang-undang ketenagakerjaan melindungi jika mereka bekerja terikat (meski kebanyakan artis bekerja freelance/per proyek); dan belakangan, artis sebagai pekerja bebas diatur juga dalam kerangka perpajakan dan jaminan sosial. Misalnya, Peraturan Dirjen Pajak No. PER-17/PJ/2015 memasukkan artis dalam daftar pekerjaan bebas dengan norma penghasilan tertentu , mengindikasikan formalisasi profesi artis sebagai subjek pajak yang diakui. Juga, BPJS Ketenagakerjaan telah membuka skema untuk pekerja sektor informal, termasuk artis/pekerja seni, agar mereka bisa mendapat perlindungan kecelakaan kerja dan hari tua secara sukarela.

Pada konteks global, peran artis identik dengan performing artists yang terkenal. Perlindungan hukum internasional tidak spesifik pada “celebrity” sebagai status, tetapi artis internasional diuntungkan oleh lingkungan industri yang lebih mapan: adanya agen bakat, sistem kontrak standar dengan residuals, hukum anti-pembajakan ketat, hingga tim manajemen profesional. Tantangan universal bagi artis adalah memastikan kendali atas karier dan karyanya tetap di tangan mereka, bukan sepenuhnya di tangan studio atau label. Kasus Taylor Swift yang diuraikan sebelumnya adalah contoh upaya seorang artis global mempertahankan hak atas karya ketika berhadapan dengan industri rekaman . Lain lagi, aktor di Hollywood melalui serikat SAG-AFTRA baru-baru ini (2023) melakukan aksi mogok kerja menuntut kesepakatan kontrak lebih adil terkait gaji dan penggunaan teknologi AI, menunjukkan bahwa bahkan di tingkat industri maju pun artis terus memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja seni sekaligus kreator.

Secara umum, baik di Indonesia maupun global, batas antara seniman dan artis semakin kabur di era kini – banyak artis memperdalam kapasitas kreatifnya (misal menulis lagu sendiri, memproduksi film sendiri), dan banyak seniman tradisi yang mendadak menjadi “artis” viral karena media sosial. Yang terpenting adalah memastikan setiap individu di ekosistem seni, terkenal maupun tidak, mendapatkan perlakuan adil atas kontribusi mereka.

Hak-Hak Hukum dan Profesional dalam Ekosistem Seni

Setiap peran dalam ekosistem seni memiliki hak-hak tertentu – baik yang diakui secara hukum (legal rights) maupun yang diperjuangkan sebagai norma profesional. Bagian ini membahas hak utama bagi kelompok seniman/artisan (sebagai pencipta karya), pelaku pertunjukan (musisi, aktor, dsb.), dan pekerja seni/artis pada umumnya, termasuk perbandingan implementasi di Indonesia dan global.

Hak Cipta bagi Pencipta (Seniman dan Artisan)

Hak Eksklusif atas Karya: Seniman sebagai pencipta karya seni berhak atas hak cipta atas ciptaannya. UU Hak Cipta Indonesia No. 28 Tahun 2014 mendefinisikan hak cipta sebagai hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul otomatis setelah karya diwujudkan dalam bentuk nyata . Hak cipta mencakup hak ekonomi (hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari penggunaan karya) dan hak moral (hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta terkait penghormatan atas nama dan integritas karyanya) . Bagi seorang pelukis, misalnya, hak ekonomi berarti ia dapat menjual lukisannya atau reproduksinya, dan hak moral menjamin namanya harus dicantumkan sebagai pelukis asli serta lukisannya tidak boleh diubah sembarangan.

Dalam konteks seniman dan artisan:
• Hak Ekonomi: Pencipta berhak mendapatkan royalti atau imbalan atas pemanfaatan komersial karyanya. Di Indonesia, pengelolaan royalti mulai diatur lebih baik pasca UU 2014 dengan pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk musik, dll. Namun, ada aspek yang masih kurang, misalnya hak resale royalty (droit de suite) bagi seniman seni rupa. Saat ini, jika sebuah lukisan dijual lagi di balai lelang dengan harga jauh lebih tinggi, seniman awal tidak otomatis mendapat bagian. Wacana adopsi droit de suite sempat muncul karena ketidakadilan ini, mengingat hukum internasional (Berne Convention) mengizinkan negara anggota mengatur hal tersebut . Studi hukum mencatat bahwa UU 2014 lebih menekankan industri musik/digital, sehingga seniman rupa merasa kurang terakomodasi hak ekonominya, dan usulan penambahan droit de suite muncul untuk keadilan bagi pelukis/pematung . Secara global, droit de suite sudah berlaku di Uni Eropa dan beberapa negara (Prancis pionirnya), sehingga perbandingannya, seniman Eropa bisa mendapat persentase saat karyanya terjual kembali, sedangkan di Indonesia belum.
• Hak Moral: Hak moral pencipta di Indonesia meliputi hak untuk dicantumkan namanya, hak mempertahankan integritas karya (tidak diubah tanpa izin pencipta), dan hak anonim/pseudonim. Hak moral tidak bisa dialihkan dan melekat selamanya . Ini mirip dengan standar global; negara civil law seperti Prancis bahkan memperlakukan pelanggaran hak moral dengan serius (misal, modifikasi karya seni rupa tanpa izin pencipta bisa dituntut). Bagi artisan tradisional, hak moral juga penting: misal perajin desain batik kontemporer berhak diakui namanya untuk desain baru yang ia ciptakan, meski motif dasarnya terinspirasi tradisi.

Perlindungan Waktu dan Cakupan: Di Indonesia, hak cipta berlaku seumur hidup pencipta + 70 tahun setelah wafat (untuk karya individu) . Ini sejalan dengan standar Berne Convention (life plus 50, namun Indonesia memilih 70 tahun). Bagi karya komunal/tradisional yang tidak diketahui penciptanya (folklor), hak cipta tidak dibatasi waktu dan dipegang negara . Secara global, hampir semua negara mengikuti standar minimal Berne (life + 50), banyak yang memperpanjang ke life + 70 seperti Indonesia dan EU, dan beberapa karya tertentu punya durasi berbeda (AS misalnya punya aturan khusus karya works for hire). Intinya, seniman pencipta punya periode eksklusif yang panjang untuk menikmati hak ekonominya, setelah itu karya jatuh ke public domain.

Hak Lain dan Pengakuan Profesi: Selain hak ekonomi/moral, seniman dan artisan juga berhak atas pengakuan profesi dan dukungan infrastruktur. UNESCO 1980 Recommendation menekankan pentingnya jaminan sosial, tunjangan, dan kemudahan pajak bagi seniman , mengingat ketidakpastian pendapatan mereka. Beberapa negara menanggapi ini: misal di Jerman ada skema asuransi sosial khusus seniman (Künstlersozialkasse), di negara-negara Nordik seniman bisa mendapat dana pensiun atau subsidi karya. Indonesia telah mulai langkah dengan UU Pemajuan Kebudayaan 2017 yang membuka peluang pendanaan dan penghargaan bagi pelaku budaya, dan pembentukan Dana Indonesiana (dana abadi kebudayaan) untuk mendukung kegiatan seni . Meski belum sempurna, arah kebijakan ini diharapkan memberi hak-hak kesejahteraan lebih baik bagi seniman di masa depan.

Hak dan Perlindungan bagi Pelaku Pertunjukan (Musisi, Aktor, Dll.)

Hak Terkait (Neighboring Rights): Pelaku seni pertunjukan memiliki hak terkait dengan hak cipta, yang mencakup hak ekonomi atas penampilan mereka. Berdasarkan UU Hak Cipta 2014, pelaku pertunjukan diberi hak eksklusif untuk mengizinkan atau melarang pihak lain merekam, memperbanyak, menyiarkan, atau menyewakan rekaman pertunjukannya . Contohnya, seorang penyanyi memiliki hak untuk mengizinkan rekaman konsernya disebarluaskan (biasanya diatur melalui kontrak dengan label/producer). Jika pertunjukan direkam ke dalam fonogram (misal album live atau lagu rekaman), penyanyi dan musisi berhak atas royalti dari penggunaan rekaman tersebut. Demikian pula, aktor film memiliki hak atas penggunaan rekaman aktingnya (dalam bentuk film); biasanya ini diakomodir dalam royalti penayangan ulang atau distribusi digital.

Di Indonesia, hak ekonomi pelaku pertunjukan berlangsung 50 tahun sejak pertunjukan difiksasikan dalam rekaman atau disiarkan . Hak moral juga diakui: nama sang aktor/pemusik harus dihormati dan tidak boleh dihilangkan dari kredit, dan penampil dapat menolak distorsi atas penampilannya yang merugikan reputasinya . Secara internasional, perangkat hukum seperti WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) mengatur hal serupa; banyak negara memberikan jangka waktu 50 tahun untuk performer’s rights (Uni Eropa kini 50 untuk audio, bahkan 70 untuk beberapa kasus).

Remunerasi dan Royalti: Salah satu isu penting adalah bagaimana pelaku pertunjukan memperoleh imbalan finansial. Di industri musik, umumnya diatur lewat kontrak: musisi rekaman mendapatkan royalti per penjualan/streaming, sementara musisi session (pendukung) dibayar flat fee kecuali ada perjanjian khusus. Untuk aktor, ada model pembayaran buy-out (dibayar putus) atau sistem residual (dibayar ulang setiap kali karya diputar ulang). Indonesia masih mengembangkan sistem ini. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) musik di Indonesia sekarang memungut royalti untuk pencipta lagu dan penyanyi atas pemutaran lagu di ruang publik (sesuai PP No. 56 Tahun 2021), langkah positif untuk memastikan musisi mendapat bagi hasil. Namun, tantangan tetap ada: banyak musisi independen mengeluh tarif royalti streaming yang rendah global, yang di luar jangkauan regulasi nasional.

Hak atas Citra dan Publisitas: Aspek lain adalah hak terkait persona artis. Di beberapa yurisdiksi (misal beberapa negara bagian AS), ada right of publicity – hak bagi figur publik melarang penggunaan nama/foto/citra mereka untuk kepentingan komersial tanpa izin. Indonesia belum memiliki payung hukum khusus hak publisitas, namun aspek ini kadang dicakup lewat UU Merek (melarang nama orang terkenal didaftarkan sebagai merek tanpa izin) atau UU ITE jika menyangkut konten digital. Bagi artis pertunjukan, hak ini relevan misalnya untuk mencegah produk memakai foto mereka tanpa izin. Secara global, tren perlindungan hak publisitas meningkat seiring fenomena celebrity endorsement dan penggunaan AI (deepfake) yang bisa mereplikasi wajah artis.

Perlindungan Ketenagakerjaan: Pelaku pertunjukan yang bekerja di industri formal (misal aktor terikat kontrak studio, anggota orkestra tetap di instansi) memiliki hak ketenagakerjaan seperti upah minimum, jam kerja wajar, dan perlindungan K3. Bagi yang freelance, serikat pekerja menjadi kunci. Seperti disinggung, di Hollywood serikat aktor berhasil menetapkan standar tarif dan kondisi kerja. Di Indonesia, beberapa komunitas pelaku seni telah membentuk persatuan (PARFI untuk film, PAPPRI untuk musik, dsb.), namun fungsinya lebih ke wadah komunikasi daripada collective bargaining. Ke depan, peningkatan kapasitas serikat/asosiasi untuk melobi hak-hak performer (misal standar pembayaran, asuransi produksi film) akan menjadi hal penting agar artis pertunjukan terjamin kesejahteraannya.

Kebebasan Berkesenian: Satu hak fundamental yang layak disebut adalah kebebasan berekspresi artistik. Pelaku seni pertunjukan kadang berhadapan dengan sensor atau pembatasan. Koalisi Seni Indonesia menyoroti bahwa kebebasan berkesenian adalah bagian dari hak seniman yang harus dijamin negara (bagian dari hak asasi manusia) . Di ranah global, Pasal 19 Kovenan ICCPR melindungi kebebasan berekspresi, termasuk artistik. Karenanya, pelaku seni berhak mengekspresikan diri dalam batas-batas hukum tanpa intimidasi. Kasus-kasus pembatasan, seperti pelarangan pertunjukan musik atau teater karena alasan politis/moral, merupakan pelanggaran hak pelaku seni yang terus diperjuangkan agar tidak terjadi, baik di Indonesia maupun di negara lain.

Hak Profesional dan Kesejahteraan Pekerja Seni

Pengakuan dan Status Profesi: Pekerja seni yang bekerja di belakang layar atau bidang manajemen berhak diakui keahlian dan perannya. Pengakuan ini antara lain berupa penyebutan kredit/nama (misal nama kru film tercantum di credit title – hal yang sudah menjadi standar internasional dan juga dipraktikkan di Indonesia). Lebih jauh lagi, mereka berhak atas professional credit dalam portofolio kariernya – misalnya kurator diakui kekayaan intelektualnya atas konsep pameran yang dia susun, atau penata artistik diakui kontribusinya terhadap estetika suatu produksi. Dalam beberapa sistem hukum, kontribusi signifikan dari pekerja seni tertentu bisa dianggap joint authorship (pengarahan seni dalam film di Perancis misalnya bisa diargumentasikan sebagai bagian hak cipta film). Di Indonesia, konsep pencipta bersama diakui (UU 28/2014 Pasal 1 ayat 2) , sehingga jika suatu karya diciptakan kolektif, semua yang berkontribusi khas dan pribadi diakui sebagai pencipta bersama. Ini dapat mencakup pekerja seni kreatif seperti co-scenarist, co-choreographer, dll.

Kompensasi dan Kondisi Kerja: Sebagai pekerja, mereka berhak atas kompensasi layak. Di proyek seni, pekerja seni sering dibayar dengan sistem honorarium. Standar honor di Indonesia kadang belum seragam, namun beberapa organisasi seni telah membuat panduan. Misalnya, tarif minimum bagi kru panggung pertunjukan teater komunitas ditetapkan agar tidak ada eksploitasi kerja sukarela terus-menerus. Secara global, ada kesadaran bahwa “exposure doesn’t pay the bills” – pekerja seni tidak boleh selalu diminta bekerja sukarela dengan iming-iming “pengalaman” atau “eksposur”. Oleh karena itu, di banyak negara berkembang komunitas mendorong pembuatan standard fee. Selain itu, jam kerja dan keselamatan penting diperhatikan: jam latihan atau syuting yang terlalu panjang melanggar hak kesehatan pekerja seni. Standar keamanan set harus dijaga (kasus kecelakaan stuntman atau kru karena lalai dapat berujung tuntutan hukum).

Jaminan Sosial dan Jaminan Hari Tua: Profesi seni sering dipandang tidak stabil, tapi bukan berarti mereka tidak memerlukan jaminan. Beberapa negara menyediakan asuransi kesehatan dan dana pensiun khusus seniman/pekerja seni (seperti contoh di Jerman dan Perancis sebelumnya). Di Indonesia, skema BPJS Ketenagakerjaan telah membuka ruang pekerja informal termasuk pekerja seni untuk mendaftar mandiri. Walau sifatnya opsional, ini peluang baik agar pekerja seni punya perlindungan saat kecelakaan kerja atau memasuki usia tua. Upaya advokasi sedang berjalan agar pemerintah mengakui pekerja seni dalam kategori penerima bantuan iuran jaminan sosial bila penghasilannya rendah.

Hak Berorganisasi dan Berkumpul: Pekerja seni, layaknya pekerja lain, berhak mendirikan atau bergabung dalam serikat/asosiasi untuk memperjuangkan kepentingan mereka. UNESCO dan ILO mendukung hak ini . Di Indonesia, belum banyak serikat formal kecuali di sektor film dan musik tertentu, namun komunitas dan perkumpulan ada hampir di tiap bidang (asosiasi seniman tari, komunitas pekerja event, dsb.). Tantangan di Indonesia adalah mempersatukan suara pekerja seni yang sangat beragam ini menjadi advokasi kebijakan (misal terkait subsidi atau regulasi pajak).

Dalam lingkup kesehatan mental, pekerja seni juga berhak atas lingkungan kerja yang bebas dari pelecehan dan tekanan berlebihan. Industri seni kadang rawan bullying atau pelecehan (melekat dengan budaya hierarki di panggung atau set film). Negara-negara maju mulai memperhatikan hal ini – misal, Inggris mempunyai code of conduct anti-bullying di teater. Indonesia pun tengah diarahkan ke sana dengan semakin terbukanya diskusi soal pelecehan di industri film/teater belakangan ini.

Studi Kasus: Implementasi Hak dan Tanggung Jawab di Indonesia dan Global

Untuk mengilustrasikan konsep di atas, berikut dua studi kasus – satu dari Indonesia dan satu global – yang mencerminkan tantangan dan perkembangan terkait peran serta hak dalam ekosistem seni.

Studi Kasus Indonesia: Perlindungan Hak Cipta Seni Tradisional dan Komunal
Indonesia memiliki kekayaan seni tradisional yang diciptakan dan dipelihara oleh artisan dan seniman komunitas. Permasalahan muncul ketika karya-karya tradisional ini diakui atau diklaim pihak asing. Contoh yang pernah ramai adalah klaim beberapa budaya Indonesia oleh negara tetangga atau pihak asing – seperti tari Pendet Bali muncul dalam iklan pariwisata negara lain, atau motif batik parang dipatenkan di luar negeri. Kasus-kasus tersebut mendorong Indonesia memperkuat perlindungan hukum atas karya komunal. UU Hak Cipta 2014 memasukkan pasal perlindungan ekspresi budaya tradisional (folklor) di mana negara memegang hak cipta atas karya budaya milik bersama . Implementasinya, pemerintah melalui Dirjen KI (Kekayaan Intelektual) mendata dan mencatatkan ribuan data ekspresi budaya tradisional, termasuk lagu daerah, motif, cerita rakyat, dll., untuk mencegah pengambilan hak oleh pihak tak berwenang. Pada tingkat internasional, Indonesia aktif dalam pembahasan WIPO tentang perlindungan Traditional Cultural Expressions. Di sisi lain, kesadaran artisan lokal meningkat: sebagai contoh, komunitas perajin Tenun Ikat di Sumba kini memberikan kode identifikasi pada tiap helai tenun dengan menuliskan asal-usul motif, sehingga jika ada plagiarisme mereka bisa melacak. Pemerintah daerah dan pusat juga memberikan penghargaan Maestro Seni Tradisi kepada individu seniman/artisan tradisional, melengkapi dengan insentif finansial dan publikasi. Langkah-langkah ini menunjukkan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam mengakui peran artisan sebagai penjaga warisan, sekaligus melindungi hak moral komunitas atas budayanya. Meskipun tantangan tetap ada (misal terbatasnya pengetahuan hukum di kalangan artisan, atau produk budaya digital yang sulit dikontrol), studi kasus Indonesia ini memperlihatkan arah positif: perlindungan hak cipta komunal diatur, seniman tradisional diberi panggung dan penghargaan, sehingga ekosistem seni tradisi bisa berkelanjutan dengan generasi muda tertarik melanjutkan (karena ada jaminan apresiasi dan ekonomi).

Studi Kasus Global: Sengketa Kepemilikan Master Rekaman Taylor Swift
Kasus penyanyi-penulis lagu asal Amerika Serikat, Taylor Swift, menjadi contoh terkenal mengenai hak seniman atas karyanya dalam industri musik global. Taylor Swift pada usia sangat muda menandatangani kontrak dengan label rekaman Big Machine Records yang memberi label tersebut kepemilikan master recordings enam album pertamanya. Ketika katalog master tersebut dijual oleh pemilik label kepada investor (Scooter Braun) tanpa persetujuan Swift, ia secara terbuka memprotes kehilangan kendali atas karya ciptaannya sendiri . Kontrak lamanya tidak memberinya hak membeli master secara mudah. Merespon situasi ini, Swift mengambil langkah luar biasa: ia memutuskan untuk merekam ulang album-album lamanya satu per satu, merilisnya sebagai versi baru (Taylor’s Version), sehingga ia menjadi pemilik master rekaman versi baru tersebut . Strategi ini memanfaatkan fakta bahwa hak cipta komposisi lagu tetap milik Swift sebagai pencipta, sementara master rekaman lama milik label – dengan membuat rekaman baru atas lagu-lagunya, Swift menciptakan fonogram baru yang ia kuasai haknya. Para penggemarnya mendukung langkah ini dengan lebih memilih mendengarkan dan membeli versi baru, alhasil versi rekaman ulang sukses besar secara komersial. Media menyebut ini sebagai watershed moment bagi hak musisi . Banyak musisi mulai menyadari pentingnya memiliki kendali atas master rekaman atau setidaknya menegosiasikan kontrak lebih adil. Industri musik pun mendapat tekanan etis untuk lebih transparan dalam kepemilikan hak dan royalti artis. Kasus Swift menunjukkan bahwa di tingkat global, hak hukum seniman bisa diperjuangkan melalui kreativitas dan dukungan publik, meskipun berhadapan dengan entitas bisnis besar. Ini juga menyoroti elemen tanggung jawab: Swift sebagai pencipta merasa bertanggung jawab melindungi integritas karya dan nilai sentimentalnya dari pihak yang dianggapnya “tidak menghargai karya tersebut”, sehingga ia mengambil tindakan drastis demi memastikan karya-karyanya berada di bawah kendali orang yang menciptakannya. Implikasi hukumnya, beberapa negara mungkin mempertimbangkan regulasi agar artis lebih mudah mendapatkan kembali hak master mereka setelah jangka waktu tertentu (reversion rights). Bagi para pelaku seni lain, kasus ini menjadi inspirasi akan pentingnya memahami kontrak, hak cipta, dan berani mengambil langkah untuk mempertahankan hak kreatif.

Kesimpulan

Pembahasan di atas menggambarkan betapa beragamnya peran dalam ekosistem seni kreatif, mulai dari seniman pencipta, artisan pengrajin, pekerja seni pendukung, pemusik dan pelaku pertunjukan, hingga artis sebagai figur hiburan. Masing-masing peran memiliki tanggung jawab khas: seniman dan artisan bertanggung jawab menghasilkan karya orisinal dan melestarikan nilai budaya; pekerja seni memastikan kelangsungan proses kreatif secara teknis dan manajerial; pemusik dan pelaku pertunjukan menghidupkan karya di hadapan publik; sedangkan artis memadukan seni dengan pengaruh media untuk menjangkau audiens luas. Kontribusi kolektif mereka menjadikan ekosistem seni berjalan dinamis dan menghasilkan produk budaya yang dinikmati masyarakat.

Dari segi hak dan perlindungan, terdapat prinsip universal bahwa para pelaku seni harus mendapatkan apresiasi dan hak ekonomi atas kontribusi mereka, serta pengakuan moral sebagai pemilik karya atau penampil. Dalam konteks Indonesia, kerangka hukum telah tersedia melalui UU Hak Cipta 2014 yang melindungi hak pencipta dan pelaku pertunjukan, serta undang-undang terkait kebudayaan dan ketenagakerjaan. Tantangannya terletak pada implementasi efektif dan penyempurnaan regulasi (misalnya perlunya aturan lebih lanjut tentang royalti seni rupa, atau perlindungan pekerja seni informal). Studi kasus di Indonesia memperlihatkan upaya melindungi warisan tradisional dengan melibatkan peran negara sebagai pemegang hak folklor, yang merupakan langkah penting mengakui hak komunitas dan artisan. Sementara itu, perbandingan global menunjukkan bahwa banyak negara telah lebih maju dalam hal pengakuan status seniman sebagai profesi lengkap dengan jaminan sosial dan serikat pekerja yang kuat, serta adaptasi hukum untuk tantangan era digital (contoh kasus Taylor Swift menonjolkan isu kepemilikan karya di industri musik modern).

Dapat disimpulkan bahwa meskipun esensi peran – seperti dorongan kreatif seniman atau ketekunan artisan – bersifat universal, ekosistem pendukung di sekitar peran-peran tersebut berbeda antar negara. Indonesia memiliki kekayaan budaya dan jumlah pelaku seni yang besar; bila didukung regulasi yang melindungi hak cipta, hak terkait, serta kebijakan kesejahteraan pekerja seni, potensi sektor kreatifnya dapat berkembang optimal. Demikian pula, pelajaran dari praktik global seperti pemberian status pekerja budaya, skema royalti yang adil, dan penghargaan terhadap hak moral dapat diadaptasi untuk perbaikan di tanah air.

Akhirnya, penting disadari bahwa memajukan ekosistem seni bukan hanya tanggung jawab pemerintah melalui hukum, tetapi juga tanggung jawab kolektif – industri, komunitas seni, dan masyarakat penikmat seni. Menghargai setiap peran (dari sutradara hingga juru lampu, dari maestro tradisi hingga selebritas pop) dan memahami hak-hak mereka adalah prasyarat terciptanya iklim berkesenian yang sehat. Ketika setiap pelaku seni merasa aman secara hukum, diapresiasi secara profesional, dan sejahtera secara ekonomi, mereka dapat lebih fokus pada tugas utamanya: menghasilkan dan menyajikan karya seni yang bermutu bagi peradaban. Sebuah ekosistem seni yang ideal adalah yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, di mana kreativitas dapat tumbuh subur dan hak-hak kreator maupun pekerja seni terlindungi dengan semestinya – baik di Indonesia maupun di pentas global.

Daftar Pustaka
• Agus Suwage (wawancara dalam CrescentStreetPrinting). (2025, Maret). Peran Seniman dalam Mempertahankan Karya Seni Rupa Indonesia. Diakses dari . (Menyoroti pandangan seniman tentang pentingnya hak cipta bagi seniman dalam melindungi karya).
• Direktorat Jenderal Pajak. (n.d.). Artis. Diakses dari . (Situs DJP menjelaskan definisi artis dan daftar profesi yang digolongkan sebagai pekerja seni/artis untuk keperluan perpajakan, mengutip definisi KBBI).
• Kompasiana (Priyono1431). (2023). Kosa Kata: Seniman vs Pekerja Seni. Diakses dari . (Artikel opini yang membahas perbedaan istilah seniman, artis, dan pekerja seni dalam budaya populer Indonesia).
• Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. (Lembaran Negara RI Tahun 2014 No.266). Diakses dari dan Wikisource . (Landasan hukum definisi pencipta, hak cipta, hak terkait, hak moral, serta perlindungan folklor di Indonesia).
• UNESCO. (1980). Recommendation concerning the Status of the Artist. Belgrade: UNESCO General Conference 21st Session. Diakses dari UNESCO Legal Affairs . (Dokumen rekomendasi internasional yang menyerukan negara-negara anggota menjamin hak sosial, ekonomi, dan status hukum seniman dan pekerja budaya).
• Wikipedia Bahasa Indonesia. (2023). Seniman. Diakses dari . (Menjelaskan pengertian seniman/artis dalam bahasa Indonesia, termasuk penggunaan istilah “artis” sebagai selebritas).
• Wikipedia Bahasa Indonesia. (2023). Perajin. Diakses dari . (Memberikan definisi perajin sebagai artisan, dan hubungan antara keterampilan perajin dengan ekspresi seni).
• Wikipedia (English). (2023). Taylor Swift masters dispute. Diakses dari . (Artikel yang mendokumentasikan perselisihan Taylor Swift dengan label rekaman mengenai kepemilikan master album, langkah re-recording, dan dampaknya pada diskursus hak musisi).
• WIPO (World Intellectual Property Organization). (2020). Intellectual Property and Traditional Handicrafts. Diakses dari . (Sumber yang membahas berbagai mekanisme HKI seperti indikasi geografis, merek kolektif, desain industri untuk melindungi produk kerajinan tradisional dan kepentingan artisan).
• Zulfiani, R. (2019). Dilema Droit de Suite untuk Karya Seni Rupa, Jurnal Ilmu Hukum UII, 17(2): 37-45. Diakses dari . (Artikel akademik yang menganalisis ketiadaan pengaturan resale royalty dalam UU Hak Cipta 2014 dan urgensi mengakuinya demi keadilan bagi seniman seni rupa).
Post Reply