Inti gagasan: Dalam horizon Nusantara, budaya bukan hanya “mengolah/merawat” ala cultura. Ia sudah memuat nilai (eling), etika (budi), dan laku (adat) yang dirumuskan oleh Desa–Kala–Patra (DKP) yaitu kesesuaian tempat–waktu–kapasitas. Budaya kita lahir dari eling → budi → laku → adat → (budi-)daya → budaya.
Sementara itu, kolonialisme/kekuasaanyang berlanjut dalam logika modernitas sering “mengubah medan” dengan dua alat: (1) agama yang diinstitusikan dan (2) “culture” sebagai kategori administrasi. Keduanya kerap mendekontekstualisasi nilai lokal ketika tidak tunduk pada pagar DKP.
Pembedaan kerja (ringkas namun tegas)
Budaya (Nusantara): nilai-berlaku → eling → budi → laku → adat → daya → budaya (berpagar DKP).
Fokusnya menjaga kebermaknaan dalam konteks setempat, bukan sekadar menata bentuk.
Culture (warisan cultura): teknik “kultivasi” → kurasi bentuk/artefak; mudah dijadikan kategori kebijakan/ekonomi (event, indikator, destinasi).
Berguna untuk pengelolaan, tapi rawan memutus nilai dari konteks.
Agama (terinstitusi): paket doktrin–ritus–organisasi; cenderung menstandar lintas konteks.
Baik sebagai penyangga makna, namun perlu ditundukkan pada DKP saat hadir di ruang publik majemuk.
Dampak umum “penggempuran”
Dekontekstualisasi
Nilai (eling) dipisah dari bentuk; yang tersisa “event budaya” tanpa ruh.
Administrativisasi
Culture jadi komoditas & indikator turisme; adat & ruang sakral menyempit.
Substitusi otoritas
Lembaga luar menggantikan tuan rumah DKP (tetua, juru kunci, perempuan adat, pemuda).
Kenapa kita mudah lupa “dasar manusia”?
Kita masing-masing hidup tak lebih dari seribu tahun—bahkan rata-rata hanya beberapa dekade. Dalam waktu singkat itu, ilmu & industri melesat, mendorong kita memuja yang terukur (indikator, tiket, rating) dan melupakan urutan dasar:
eling → budi → laku → adat → (budi-)daya → budaya.
Ketika urutan ini terbalik bentuk mendikte nilai kita sibuk mengelola “culture” sambil kehilangan rasa dan tata batin.
Kerangka Nusantara yang masuk akal & operasional
Prinsip 1 — DKP memimpin bentuk.
Yang universal cukup pada nilai (welas asih, keadilan). Bentuk—bahasa, musik, busana, tata panggung/masyarakat wajib tunduk pada Desa–Kala–Patra.
Prinsip 2 — Tuan rumah berdaulat.
Ruang setempat diputuskan oleh penjaga konteks: tetua, juru kunci, perempuan adat, pemuda. Lembaga luar datang sebagai tamu, bukan pengganti.
Prinsip 3 — Persetujuan bebas & sadar (FPIC).
Setiap pengambilan gambar, riset, pertunjukan, atau ritual publik: persetujuan tertulis, bisa dicabut, dan menyebut asal-usul unsur yang diadaptasi.
Prinsip 4 — Timbal-balik adil.
Manfaat material & pengetahuan kembali ke komunitas: arsip bersama, pelatihan, beasiswa, dana kas adat, dan akses prioritas bagi warga.
Prinsip 5 — Dokumentasi & audit makna.
Tidak cukup laporan event. Lakukan audit makna: apakah kegiatan memperkuat eling–budi–laku–adat? Bila tidak, reka ulang atau hentikan.
Menutup: Mengembalikan urutan yang benar
Kolonialisme dan modernitas mengajari kita “mengelola budaya” sebagai komoditas. Kerangka Nusantara mengingatkan: budaya bukan barang kelola, melainkan cahaya eling yang menjelma budi, teruji dalam laku, dibakukan sebagai adat, lalu berbuah daya—itulah budaya.
Maka, bila kita hendak adil pada diri dan bumi tempat berpijak, pulihkan urutan itu. Biarkan DKP menjadi pagar, agama hadir sebagai sumber makna yang rendah hati, dan culture sekadar alat administrasi, bukan penguasa makna. Dengan begitu, kita tak sekadar merawat bentuk—kita merawat jiwa tempat: desa, kala, dan patra.
